Info Kontak:

Kamis, 21 November 2019

TNI/Polri Siapkan Strategi Khusus Cegah Teror KKB Papua

ilustrasi


Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- TNI dan Polri sudah menyiapkan strategi untuk mencegah teror kelompok kriminal bersenjata atau KKB Papua menjelang hari lahirnya OPM yang jatuh pada tanggal 1 Desember mendatang. (baca)

TNI dan Polri telah meningkatkan aktivitas pengamanan untuk megantisipasi aksi teror KKB Papua.

Melansir dari Kompas.com dalam artikel 'Kapolda Papua Tak Akan Toleransi Gangguan Keamanan Jelang HUT OPM', antisipasi terhadap aksi KKB Papua dan konflik lain diungkapkan oleh Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw

Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw menegaskan tidak akan menoleransi setiap gerakan yang memiliki potensi pada terjadinya gangguan keamanan.

"Mungkin kalau mereka hanya sekadar mau beribadah monggo, tapi aksi yang kelewatan pastinya akan kami tindak karena saat ini kami sedang sindroma.

Sampai saat ini, masyarakat masih khawatir bahwa jangan sampai kejadian-kejadian yang lalu terulang lagi," ujar Paulus, di Jayapura, Selasa (19/11/2019).

Aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, kini tengah melakukan cipta kondisi agar kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah di Papua tidak terulang lagi.

Menurut Paulus, trauma yang diderita para korban kerusuhan belum hilang sehingga aparat keamanan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga situasi tetap kondusif.

"Ketakutan demi ketakutan itu yang harus kami hindari.

Rabu, 20 November 2019

Peran Jenderal A.H Nasution dalam Keberlangsungan NKRI di Tahun 1965

ilustrasi


Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri, Komandan Pasukan Tjakrabirawa, seperti yang telah diketahui dapat dilumpuhkan dengan mudah kurang dari 24 jam. G-30-S memang berhasil membunuh sejumlah jenderal dan tentara, namun gagal mengambil alih pemerintahan. Bahkan organisasi mereka kacau balau pada tanggal 1 Oktober 1965 dan telah kehilangan arah pergerakan. Ada tiga jenderal tinggi AD yang selamat pada malam jahanam tersebut, yakni Panglima ABRI A.H. Nasution, Komandan Kostrad Soeharto, dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Pemberantasan PKI dan G-30-S pun dengan segara dilakukan. Jika Sarwo Edhie adalah orang "lapangan" dalam pemberantasan tersebut, maka duet A.H Nasution dan Soeharto adalah think and thank nya. (baca)

Duet Pak Harto dan Nasution yang kerap disapa Pak Nas pun berlanjut paska G-30-S. Lewat Supersemar 11 Maret 1966, Suharto melakukan perombakan kabinet dan pada 20 Maret nya Nasution diangkat menjadi ketua MPRS (Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara). Jabatan Menhankam/Panglima ABRI dihapuskan namun  kekuasaan itu dijabat oleh Suharto. Lewat sejumlah sidang-sidang umum, Nasution aktif melobi dan mengusahakan agar Supersemar tidak dapat ditarik kembali oleh Presiden Sukarno. Sebagai ketua MPRS Nasution juga mendorong agar ajaran Marxisme-Leninisme resmi dilarang melalui Tap. MPRS, mencabut keputusan presiden seumur Sukarno, dan pelaksanaan pemilu legislatif secepatnya. Duet Pak Harto dan Pak Nas semakin klop, disuatu sisi Suharto sebagai pelaksana jabatan eksekutif dan Pak Nas adalah pemegang tertinggi jabatan lembaga legislatif dan lembaga tertinggi negara.

Puncaknya, pada 22 Juni 1966 MPRS menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul "Nawaksara" karena isinya dianggap mengecewakan, terutama sekali karena tidak membahas soal peristiwa 30 September. Pada bulan Februari 1967 DPR-GR secara gencar menyerukan MPRS untuk melaksanakan sidang istimewa untuk menggantikan Sukarno dengan Suharto. Walhasil, pada 12 Maret 1967 MPRS mencabut mandat Sukarno menjadi presiden. Kelanjutannya dapat ditebak, karena Pak Harto dan Pak Nas memang "duet" maka MPRS kemudian mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden. Suharto baru berkuasa dengan status "sempurna" sebagai presiden setelah MPRS melakukan pemilihan dan pelantikan terhadap Suharto sebagai Presiden kedua Indonesia pada 27 Maret 1968.

Naik Turun Hubungan Suharto dan Nasution
Publik Indonesia secara umum melihat hubungan Suharto dan Nastion sebagai dua penyelamat bangsa yang saling kompak. Padahal pada tahun 1956 Nasution ingin memecat Suharto karena kesalahan fatalnya! Waktu itu Nasution sudah menjabat sebagai KSAD berusaha untuk membasmi korupsi di lingkungan Angkatan Darat. Salah satu komando teritorial yang ingin diselediki adalah Kodam IV/Diponegoro dengan komandannya Kolonel Suharto. Hasilnya berdasarkan penyelidikan Brigjen Sungkono, ada yang tidak beres dengan transaksi keuangan Kodam IV/Diponegoro. Berdasarkan penyelidikan selama menjadi Panglima Kodam, Suharto banyak melakukan penyelewengan misalnya melakukan penyelundupan barang yang berelasi dengan pengusaha Tionghia Lim Sie Liong. Termasuk juga dia mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat setempat, namun dananya didapat dari pungutan wajib dari (pelaku) industri produksi dan layanan, bisa dibilang ini semacam istilah "setoran". Bahkan menurut Soebandrio keuntungan dari usaha haramnya tersebut bukan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau mensejahterakan prajurit, justru lebih banyak masuk ke kantong pribadinya.
Berita ini menyebar luas di lingkungan AD dan membuat berang sejumlah petingginya akibat ulah Suharto. Konon hal ini menyebabkan Ahmad Yani pernah menempeleng Suharto, Yani geram Korps AD dipermalukan akibat ulahnya.. Maklum, waktu itu Suharto pangkatnya masih di bawah Ahmad Yani. Nasution sebagai KSAD malah berencana untuk mengeluarkan Suharto dari dinas kemiliteran alias dipecat melalui mekanisme Mahkamah Militer. Untungnya ide membawa Suharto ke Mahkamah Militer ditolak oleh Mayor Jenderal Gatot Subroto. Menurutnya Suharto masih bisa dibina menjadi perwira yang baik. Selamatlah Suharto karena Gatot Subroto, malah ia kemudian disekolahkan di Seskoad, Bandung. Hubungan Pak Nas dan Pak Harto yang terjalin mesra karena peristiwa G-30-S nyatanya tidak berlangsung terlalu lama. Suharto yang sudah berhasil menjadi RI-1 sejak 1967 masih merasa Nasution memiliki popularitas yang tinggi dan dapat menyaingi dirinya. Maklum saja, pemerintahan Orde Baru memang menggunakan konsep Dwi Fungsi ABRI yang begitu militeristik. Jika tidak terlalu berlebihan Orde Baru sebenarnya juga rezim junta militer.  Nah, di kalangan petinggi militer berbagai angkatan popularitas Nasution memang sangat tinggi. Tidak sedikit juga yang beranggapan sebenarnya Nasution lebih pantas menggantikan Sukarno. Sebagai ketua MPRS, Nasution lah orang "terkuat" kedua di Indonesia saat itu.
Tahun 1969 pengaruh Nasution sedikit demi sedikit mulai dikurangi, ia tidak diizinkan untuk berbicara atau memberikan pidato di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) dan Akademi Militer di Magelang. Pada 1971 di usianya yang ke 53 ia diberhentikan dari dinas militer lebih cepat 2 tahun dari usia seharusnya yakni 55 tahun. Tahun berikutnya pada 1972 posisinya sebagai Ketua MPRS digantikan oleh Idham Chalid. Kini Nasution resmi menyandang status sebagai seorang "sipil" dan tidak lagi mempunyai kekuasaan politik maupun militer.
Menyandang status jadi purnawirawan/sipil dan dijauhkan dari lingkungan kekuasaan politik maupun militer nyatanya juga tidak membuat hidup Nasution lepas dari perlakuan "tidak sopan" pemerintah Suharto. Entah salah apa yang dilakukan Nasution pada Pak Harto, rumahnya dikenakan kebijakan pemutusan air ledeng sampai ia harus membangun sumur di belakang rumahnya. Selain dilarang bicara di Seskoad dan Akmil, media massa yang saat itu sudah di kontrol pemerintah juga tidak boleh memuat rekaman wawancara maupun tulisan Pak Nas. Kontrol Orde Baru terhadap Pak Nas juga berlaku ke ranah-ranah privat dan kerohanian beliau. Tentara sering berjaga saat sholat jumat agar beliau tidak dapat naik ke mimbar sebagai khatib.

Menjadi Oposisi Pemerintah dan Petisi 50
Pak Nasution meskipun sudah tidak lagi memiliki kekuasaan sebenarnya amat peduli pada nasib bangsa dan menginginkan negara di jalankan yang benar sesuai konstitusi, ini artinya beliau amat peduli dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Paska ia dicopot dari jabatannya, Nasution melihat Pak Harto menyalahgunakan konsep dwi fungsi ABRI yang dicetusnya. Konsep ini awalnya dicetuskan oleh Nasution sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi ABRI dalam dunia perpolitikan, namun yang terjadi ABRI malah dijadikan Suharto lebih mendominasi kekuasaan baik di pusat maupun daerah. Golongan Karya (Golkar) yang dibentuk pada 1964 oleh sejumlah jenderal Angkatan Darat termasuk Nasution untuk membendung pengaruh PKI, malah dijadikan organisasi politik oleh Suharto dan dengan cara-cara yang tidak demokratis melakukan usaha-usaha untuk mengumpulkan suara. Melihat ketidakberesan itu Nasution enggan mengikuti pemilu selama orde baru tetap berkuasa.
Pada 1978 Nasution dan mantan Wapres Mohammad Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Sesuai namanya, yayasan ini memiliki tujuan untuk memberikan penyadaran berkonstitusi kepada masyarakat sekaligus sebagai kritikan pada pemerintah yang sering kali menafsirkan seenaknya Pancasila dan UUD 1945.
Manuver terakhir Nasution dalam upaya "menginsyafkan" Pak Harto adalah melalui penyampaian sebuah sikap dalam sebuah petisi yang lebih dikenal Petisi 50. Dinamakan Petisi 50 karena ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan militer, diantaranya A.H. Nasution, mantan Kapolri Jend. (Purn). Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, dan mantan Presiden PDRI Syafrudin Prawiranegara. Nama-nama lain seperti mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir dan Burhanudin Harahap juga termasuk penandatangan petisi tersebut. Petisi 50 dibuat pada 5 Mei 1980 dan dibacakan di hadapan anggota DPR (MPR) pada 13 Mei 1980.
Petisi 50 dikeluarkan berlatar belakang ungkapan keprihatinan tokoh-tokoh tersebut terhadap praktik penyelanggaraan negara yang kian hari kian melenceng dilakukan Suharto. Terutama paska Suharto berpidato di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan di markas Kopassus Cijantung 16 April 1980. Dalam pidatonya Suharto bersikukuh untuk tidak akan pernah mengamandemen apalagi mengganti UUD 1945, menurutnya lebih baik menculik 1 orang dari 2/3 anggota DPR yang menghendaki amandemen UUD 1945 agar tidak terwujud. Hal yang lebih parah lagi menurut para penandatangan Petisi 50, Suharto seakan menganggap dirinya adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus hingga kritikan bagi dirinya dianggap sebagai Anti-Pancasila. Seperti diketahui UUD 1945 memang merupakan suatu konstitusi yang belum sepenuhnya sempurna dan kuat karena dibuat dalam masa yang revolusioner, disusun dengan cepat karena keterbatasan waktu semata sebagai syarat pendirikan negara Indonesia merdeka. Sehingga memang perlu suatu amandemen atau perubahan agar UUD 1945 menjadi lebih baik.
Akibat Petisi 50 yang cukup membuat Suharto berang tersebut, penandatangannya termasuklah Nasution diberi sanksi sosial oleh pemerintah. Mulai dari pencekalan perjalanan ke luar negeri sampai kesulitan dalam administrasi dengan pemerintah termasuk tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank. Lengkap sudah penderitaan Jenderal (Purn.) A.H Nasution, disingkirkan dari politik dan pengembangan ekonomi.

Rujuk
Pada 1993 Pemerintah Orde Baru mulai melonggarkan sejumlah kebijakan yang kurang mengenakkan bagi Nasution. Pada Maret 1993 saat Nasution dirawat di RSPAD Gatot Subroto, ia banyak menerima kunjungan (besukan) dari para petinggi ABRI dan sejumlah pejabat negara, termasulah Suharto yang mengunjungi teman duet nya itu pada 13 Maret 1997. Pada bulan Juli nya di tahun yang sama, Suharto mengundang Nasution ke Istana untuk berbincang masalah problem negara. Undangan yang sama juga terjadi lagi pada Agustsu 1993, meskipun tidak membicarakan soal politik namun taktik Suharto sudah jelas terbaca ingin melakukan rekonsiliasi pada seniornya tersebut. Pada 5 Oktober 1997 dalam upacara memperingati HUT TNI, Nasution diberi pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar bersama Almarhum Jenderal Sudirman. Uniknya, pemberian pangkat kehormatan ini juga untuk dirinya sendiri, Suharto, sehingga pada 5 Oktober 1997 tersebut Indonesia memiliki 3 Jenderal Besar berbintang lima.

Pernah dalam suatu wawancara Nasution menyebut dirinya bukanlah seorang kritikus pemerintah seperti tudingan Orde Baru, melainkan sebagai sebuah perbedaan pendapat yang harus disampaikan. Sebab Nasution yang berlatar belang militer - pejuang - patriot bukanlah orang yang senang berdiam diri atau bungkam dan membiarkan suatu yang tidak benar terjadi. Pak Nas berjuang dengan cara dan pendekatannya agar pemerintah sebagai penyelenggara negara berjalan semestinya. Terkait dengan perlakuan Suharto pada dirinya ia menyatakan tidak memiliki dendam pada pemimpin trah keluarga cendana tersebut. Dalam kutipannya "Saya tidak dendam. Jangankan pada orang yang menyiksa batin saya selama 20 tahun, pada orang yang telah membunuh anak saya sendiri pun saya tidak dendam, pulang dari Pulau Buru datang ke rumah minta maaf, ya saya maafkan". Di masa tuanya, kedua tokoh tersebut pun menikmati hubungan mereka dengan damai.

Jenderal Besar (Purn.) Abdul Haris Nasution yang begitu amat disegani, berkharisma, dan seorang cendikiawan itu wafat pada 5 September 2000 di Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata. Al-Fatihah untuk Jenderal A.H Nasution (dan Suharto).


Sumber:
Toto Taryana, dalam senandungwaktu.com, kamis 5 Oktober 2017
Tirto.id
Merdeka.com

Kisah Pedagang Narkoba yang Punya Aset Sebesar APBN Sebuah Negara

ilustrasi
Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Pembukaan dokumen rahasia Jepang setelah 50 tahun memunculkan informasi menarik mengenai produksi narkoba Jepang untuk tentara kekaisaran Jepang saat perang dunia dan siapa pelaku pengusaha Jepang yang terlibat perdagangan narkoba khususnya opium.

"Pengusaha itu Hajime Satomi. Kalangan elit kalangan atas pemerintahan, rasanya tak ada yang tak tahu tokoh tersebut," ungkap sumber Tribunnews.com, Jumat (15/11/2019).

Perusahaan narkotika Jepang di masa perang menduduki Tiongkok, bermarkas di Nanjing dengan nama Hung Chi Shan Tang (atau Hong Ji Shan Tang) milik Satomi.

Dia menjual opium yang cukup banyak sehingga hampir menyamai anggaran tahunan pemerintah boneka Tokyo di Nanjing, dengan nilai 300 juta yuan pada tahun 1941, ketika anggaran tahunan Pemerintah Nanjing adalah 370 juta yuan.

Dokumen rahasia di perpustakaan nasional Diet Jepang, setebal 21 halaman itu, yang ditemukan dalam arsip di Perpustakaan Diet Nasional Tokyo, menunjukkan pedagang opium Hung Chi Shan Tang (atau Hong Ji Shan Tang yang sekarang akan dieja) terjual opium senilai 300 juta yuan pada tahun 1941, ketika anggaran tahunan Pemerintah Nanjing adalah 370 juta yuan.

Meskipun tidak dikenal luas di dalam negeri, perdagangan opium Jepang di Cina dianggap sebagai sumber daya keuangan yang penting bagi Tentara Kekaisaran Jepang dan pemerintah boneka Jepang baik di China, Mongolia dan Manchuria.

Garis besar transaksi opium pertama kali terungkap pada pertengahan 1980-an, ketika para sejarawan menemukan beberapa dokumen rahasia pemerintah. (baca selanjutnya)

Namun, banyak detail kunci tetap menjadi misteri.

Dokumen berjudul "Garis Besar Hung Chi Shan Tang," mengungkapkan sejarah perusahaan yang berbasis di Shanghai dan Nanjing, dipimpin oleh Hajime Satomi, yang diyakini sebagai pedagang opium yang dominan di Cina tengah yang dikuasai Jepang, termasuk Shanghai, hingga awal 1944.

Minggu, 17 November 2019

Pengurus JBMI Advokasi Sengketa Agraria di Lobu Sitompul, Tapanuli Selatan, Sumut

ilustrasi


Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Belasan pengurus DPP Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) kembali mendatangi kantor PT. North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE) di Jalan Darmawangsa VII No.16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka meminta kepastian pertanggungjawaban terkait permasalahan tanah adat Lobu Sitompul di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yang telah dikuasai PT NSHE. (baca)

“Kehadiran kami ke PT NSHE yang keempat kalinya ini untuk meminta jawaban dari surat yang telah kami kirimkan ke manajemen PT. NSHE. Namun, hingga sore ini pihak perusahaan belum juga memberikan kepastian perihal surat tersebut,” kata Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan di depan pintu gerbang PT. NSHE pada Kamis sore (14/11/2019).

Saat mendatangi PT. NSHE kali ini, Jabar Hasibuan didampingi Sekretaris OKK DPP JBMI Herman Saragih, serta beberapa pengurus JBMI Tapanuli Selatan yang tanahnya dikuasai PT. NSHE. Team JBMI mempertanyakan respon perusahaan itu terhadap surat yang dilayangkan DPP JBMI Nomor 194/Sek/DPP JBMI tertanggal 26 Oktober 2019 yang ditujukan ke pihak pimpinan PT. NSHE, perihal: ‘Pembayaran Konpensasi Hak-hak Warga JBMI.’

Baca: H.Albiner Sitompul: Sebagai Ketum JBMI, Saya Berhak Membantu Anggota JBMI yang Merasa Dirugikan Dalam Permasalahan Ini

Surat yang ditandatangani Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul S.IP, M.AP itu berbunyi: Sehubungan dengan surat pengaduan dan permintaan bantuan warga JBMI Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, kepada Ketua Umum JBMI, terkait permasalahan Tanah Adat Lobu Sitompul yang berada di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah dikuasai PT. NSHE dan sampai saat ini belum dibayar kepada warga JBMI yang tergabung dalam Tanah Adat tersebut sebagai konpensasi lahan yang dipakai oleh PT. NSHE untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Terkait hal tersebut, maka DPP JBMI meminta kepada pihak PT. NSHE untuk segera memberikan hak-hak warga JBMI.

Hisar Nadeak, perwakilan dari ahli waris tanah adat Lobu Sitimpul, mengungkapkan, pada tahun 2013 pihak PT. NSHE ingin membebaskan ratusan hektar lahan yang akan dipergunakan untuk proyek PLTA Simarboru yang terletak di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batang Toru, Tapanuli Selatan. Pembangunan PLTA ini untuk mendukung pasokan listrik di Sumatera Utara, dan merupakan bagian dari program prioritas nasional, yaitu program ketenagalistrikan 35.000 megawatt.

Menurut Hisar Nadeak, dari ratusan hektar itu, sekitar 50 hektar merupakan tanah adat Lobu Sitompul. Di hadapan perangkat desa, pihak PT. NSHE berjanji akan membayar kepada para ahli waris tanah adat Lobu Situmpul. Namun, sekian lama para ahli waris menunggu pembayaran untuk pembebasan lahan itu, tidak juga direalisasikan pihak PT. NSHE.

Pada tanggal 10 Januari 2019, Hisar Nadeak dan beberapa ahli waris didampingi pengacara Bangun Siregar, SH diterima pihak manajemen PT. NSHE yang diwakili oleh Catur didampingi pengacara Syamsir Alam Nasution, SH. Dalam pertemuan yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta itu, Catur menanyakan besaran harga per meter yang ditawarkan ahli waris kepada PT. NSHE.

“Ahli waris menyebutkan tanah seluas 50 hektar itu harga per meter 60 ribu rupiah, sehingga totalnya 30 miliar rupiah. Namun, tidak ada kata kesepakatan dari pihak PT. NSHE,” ujar Hisar Nadeak.

Pertemuan kedua belah pihak kembali dilakukan pada tanggal 11 Maret 2019. Masing-masing pihak membawa peta tanah. Namun, pihak PT. NSHE menyebutkan biaya pembebasan tanah ahli waris seluas 50 hektar itu sebesar Rp 4 miliar, dengan harga per meter Rp 8.000. Kembali, pertemuan ini tidak menemukan kesepakatan.

Sementara itu, Tajudin Sitompul dan Armansyah Sitompul, yang juga pengurus JBMI Tapsel meyakini bahwa hingga saat ini para ahli waris tanah adat Lobu Sitompul belum mendapat pembayaran dari pembebasan tanah seluas 50 hektar tersebut oleh PT. NSHE.

Setelah sabar menanti hingga sore hari, pengurus DPP dan wilayah JBMI Tapsel belum juga mendapat kabar tentang balasan surat yang telah dikirim ke PT. NSHE. Seorang sekuriti dijadikan penyampai informasi oleh pihak PT. NSHE.

“Hubungi saja Pak Rony. Semua urusan sudah diserahkan ke Pak Rony,” ujar sekuriti itu kepada pengurus JBMI yang menanyakan perihal kelanjutan jawaban surat yang telah dikirim DPP JBMI ke PT. NSHE.

Menurut Sekjen DPP JBMI Jabar Hasibuan, pihaknya memang pernah bertemu dengan Rony, orang yang dipercayakan PT. NSHE untuk menangani permasalahan ini. Kepada Jabar dan pengurus JBMI laiinnya, Rony berjanji akan memberikan jawaban atas surat tersebut antara hari Selasa atau Rabu, pekan ini.

Namun ketika pihak JBMI akan melakukan pertemuan dengan pihak PT. NSHE pada Selasa dan Rabu sebagaimana dijanjikan, mereka dihadang penjagaan dari pihak kepolisian. “Ketika hari Selasa kami datang ke PT. NSHE, ternyata sudah dijaga aparat kepolisian. Begitu pula ketika kami datang kembali di hari Rabu dan Kamis ini, kembali dijaga oleh aparat kepolisian,” sergah Sekretaris OKK DPP JBMI Herman Saragih.

Untuk klarifikasi dan konfirmasi, media ini mencoba menghubungi Rony dari pihak PT. NSHE via telepon. Namun, setelah beberapa kali dihubungi, Rony tak menjawab panggilan telepon tersebut. Ia hanya membalas via WhatsApp bahwa dirinya sedang meeting.

Pewarta media ini juga mencoba menghubungi Rijal, bagian manajemen PT. NSHE. Namun, dia juga tak memberikan jawaban spesifik. Rijal hanya memberitahukan via WhatsApp bahwa dirinya sedang bertugas di Medan. Jadi, tidak mengetahui kondisi yang terjadi di kantor PT. NSHE di Jakarta.

Sementara itu, Ketua Umum DPP JBMI H. Albiner Sitompul ketika ditemui di kantornya menjelaskan ihwal layangan suratnya ke pihak PT. NSHE. Albiner Sitompul menuturkan bahwa DPP JBMI mempunyai kepengurusan organisasi di tingkat bawah, yaitu DPW di tingkat provinsi, DPD tingkat kabupaten/kota, dan DPC tingkat kecamatan.

“Terkait masalah ini, bahwa DPC JBMI Marancar melaporkan situasi yang terjadi di wilayahnya ke DPD Tapanuli Selatan. Kemudian DPD meneruskan laporan itu ke DPW lalu ke DPP JBMI. Maka, kami di DPP, harus melayani laporan dari DPC, DPD, dan DPW tersebut,” jelas Albiner Sitompul.

Menurutnya, keberadaan tanah adat Lobu Sitompul sudah ada sejak nenek moyang mereka dahulu kala. Di area tanah adat Lobu Sitompul terdapat makam Datu Manggiling, yang merupakan pimpinan adat Marga Sitompul.

“Bukan pula karena marga saya Sitompul, jadi melindungi warga tanah adat Lobu Sitompul. Tapi, karena saya adalah Ketua Umum DPP JBMI. Dalam AD/ART disebutkan bahwa Ketua Umum JBMI dapat mengambil langkah-langkah untuk kelangsungan JBMI,” paparnya.

Albiner melanjutkan, ketika warga JBMI meminta perlindungan kepada JBMI, maka wajib hukumnya ketua umum melindungi warganya. Seperti Presiden melindungi rakyatnya.

Sebelumnya, beber Albiner lagi, dirinya juga mengklarifikasi kebenaran perkara ini. Ia mencari tahu, misalnya, apakah benar tanah warga JBMI ini diambil oleh PT. NSHE. Apakah benar ada pengakuan dari pihak desa, kecamatan, hingga dukungan dari perangkat punguan (tokoh) adat di wiyalah itu tentang pengambilan tanah tersebut. Terungkap semuanya menyatakan benar. Artinya, terjadi pengambilan lahan milik adat oleh PT. NSHE.

“Maka, sebagai ketua umum, saya mengirim surat kepada pihat PT. NSHE. Karena mereka telah berjanji untuk membayar penggantian lahan yang akan digunakan untuk proyek PLTA. Tentu surat itu harus ditanyakan jawabannya. Karena ini menyangkut harkat dan martabat warga JBMI. JBMI juga melindungi martabat warga Batak Muslim yang tanahnya digunakan oleh PT. NSHE,” paparnya.

Cara membayarnya pun, lanjut Albiner, harus sesuai, karena para ahli waris tidak secara langsung menjual tanahnya ke PT. NSHE. Tetapi, mereka “memberikan” tanahnya untuk mendukung program pembangunan nasional, dalam hal ini pembangunan PLTA.

“Karena pemberian tanah ini bukan dengan cara jual-beli, maka harus dibayarkan secara ganti untung. Karena itu, saya perintahkan rekan-rekan JBMI untuk meminta jawaban atas surat yang sudah kami kirimkan ke PT. NSHE. Jadi, saat ini yang berhadap-hadapan dalam masalah ini adalah pihak DPP JBMI dengan PT. NSHE,” pungkasnya.

Menurut Albiner, setiap pembangunan akan menimbulkan dampak munculnya kesejahteraan. Namun efek kesejahteraan itu jangan sampai teranulir akibat proses pembangunan yang tidak mensejahterakan rakyat.

Menurut Albiner, keberadaan tanah adat Lobu Sitompul kelak sangat bermanfaat bagi anak cucu para ahli waris untuk melangsungkan hidup.

“Jika sekarang kondisi tanah mereka itu sudah digunakan PT. NSHE, maka segeralah bayarkan kepada para ahli waris,” tegas Albiner.

Kamis, 07 November 2019

Korban Penipuan Bisnis Mobil Murah Tembus 1.000 Orang, Kerugian Rp 100 M

ilustrasi
Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Jumlah korban kasus penipuan penjualan kendaraan murah Akumobil bertambah. Saat ini jumlah korban yang tercatat Polrestabes Bandung mencapai seribu orang. (baca)

"Sementara yang kami data, korban untuk mobil ada 1.342 (orang)," ucap Kasat Reskrim Polrestabes Bandung AKBP M Rifai di Mapolrestabes Bandung, Jalan Jawa, Kota Bandung, Kamis (7/11/2019).

Selain korban pembelian roda empat, polisi mencatat jumlah korban yang membeli sepeda motor. Untuk sepeda motor, Akumobil juga memberikan harga spesial di bawah pasaran.

"Untuk yang motor ada 408 konsumen," katanya.

Rifai menjelaskan Akumobil menjual mobil murah yang dilakukan dalam sebuah event 'flash sale'. Dalam event itu, Akumobil menawarkan mobil murah seharga Rp 50-59 juta.

Menurut dia, para korban yang tercatat ini ada yang sudah membayar lunas, ada juga yang baru membayar down payment (DP).

"Ada yang sudah bayar DP tapi belum dikembalikan (uangnya)," ucap Rifai.

Ia menambahkan, dari jumlah korban lebih dari 1.000 orang, pihaknya menaksir kerugian korban mencapai ratusan miliar rupiah. Jumlah ini masih akan bertambah seiring dengan munculnya korban yang mengadu.

"Sekitar Rp 100 miliar (nilai kerugian)," ujar Rifai.

Kemenkop UKM Temukan 153 Investasi Bodong Berkedok KSP Mirip Cipaganti, Langit Biru dkk

sumber
Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop dan UKM) menyatakan sepanjang tahun 2019 ini ditemukan sebanyak 153 badan usaha berbasis koperasi yang melakukan investasi bodong. Seluruhnya mengatasnamakan koperasi simpan pinjam (KSP). (baca)

Deputi Bidang Kelembagaan Kemenkop dan UKM, Luhur Pradjarto, mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan penindakan untuk dijatuhi sanksi administratif. Dalam melakukan penindakan pihaknya menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kepolisian hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Dinas Koperasi dan UKM.

Koperasi tersebut melakukan aktifitas penjaringan dana dari anggota atau masyarakat namun dana investasinya diselewengkan. Beberapa oknum yang melakukan hal tersebut memanfaatkan badan hukum koperasi yang sebelumnya telah terdaftar. Namun koperasi tersebut dinyatakan telah lama vakum dari aktifitas usahanya sehingga badan hukum koperasi diperjualbelikan.

"Viral akhir-akhir ini bank gelap berkedok koperasi tapi sekarang udah ditangani Bidang Pengawasan. Mereka ini lembaga atau sekelompok orang yang mengatasnamakan koperasi terutama, jadi koperasi simpan pinjam ini sangat rawan kaya KSP Cipendawa, Cipaganti, Langit Biru dan lainnya," kata Luhur dalam keterangan tertulis pada Senin (28/10).

Untuk memastikan tidak semakin banyak korban yang berjatuhan investasinya diselewengkan, pihaknya mengandalkan Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL) untuk melakukan pengawasan. Saat ini terdapat 1.235 orang PPKL yang tersebar di berbagai wilayah untuk melakukan tugas pengawasan terhadap koperasi-koperasi aktif dan non aktif.

Luhur menambahkan salah satu ciri utama investasi bodong berkedok koperasi dapat dilihat dari track record koperasi tersebut apakah melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) atau tidak. Jika dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut tidak melaksanakan RAT dipastikan koperasi tersebut tidak sehat.

Ciri lainnya adalah usaha yang dilakukan koperasi tidak sesuai Anggaran Dasarnya. Aktifitas bisnis utamanya sudah menyimpang dari usaha yang seharusnya dijalankan. Selain itu suku bunga simpanan yang ditawarkan oleh calon nasabahnya biasanya menggiurkan dan jauh dari suku bunga simpanan perbankan.

Bah! Mentan Gugat Majalah Tempo Rp 100 Miliar karena Berita Investigasi Gula

ilustrasi
Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Menteri Pertanian (Mentan) menggugat majalah berita mingguan (MBM) Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dengan nilai Rp 100 miliar lebih. MBM Tempo digugat karena tulisan investigasi: 'Swasembada Gula Cara Amran dan Isam'. (baca)

Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel yang dikutip detikcom, Rabu (6/11/2019), gugatan itu bernomor 901/Pdt.g/2019/PN.Jkt.Sel. Mentan menggugat:

1. PT Tempo Inti Media Tbk
2. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arief Zulkifli
3. Penanggung Jawab berita investigasi Majalah Tempo, Bagja Hidayat.

Dalam petitumnya, Menteri Pertanian meminta PN Jaksel menyatakan MBM Tempo telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menjatuhkan ganti rugi materiil Rp 22 juta.

"Kerugian imateriil Rp 100 miliar," demikian petitum tuntutan Mentan.

Selain itu, Mentan meminta majalah Tempo memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Mentan yang harus dimuat dalam iklan/advertensi yang diterbitkan oleh surat kabar nasional dan majalah Tempo sendiri selama 7 hari berturut-turut dengan ukuran minimal 1/2 (setengah) halaman surat kabar sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.

Mentan Gugat Majalah Tempo Rp 100 Miliar karena Berita Investigasi GulaMajalah Tempo yang digugat.

"Menghukum Para Tergugat untuk meralat dan meminta maaf kepada Penggugat (Kementerian Pertanian RI) secara tebuka di minimal 10 media cetak dan elektronik nasional mainstream atas pemberitaan Majalah Tempo Edisi 4829/9-15 September 2019 hasil liputan 'INVESTIGASI SWASEMBADA GULA CARA AMRAN DAN ISAM' dan berita-berita negatif sebelumnya (yang besarnya kolom dan penempatan ditentukan oleh Penggugat)," tuntut Menteri Pertanian.

Menanggapi gugatan ini, Arief Zulkifli membenarkan adanya gugatan tersebut. Saat ini MBM Tempo masih melakukan rapat redaksi untuk membahas gugatan tersebut.