Info Kontak:

Senin, 28 Oktober 2019

Mendagri Tito Karnavian Perintahkan APIP tak Takut Lapor Kerugian Negara

ilustrasi
Lembaga Bantuan Hukum JBMI -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta hasil pemeriksaan audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang menimbulkan kerugian negara agar diteruskan ke aparat penegak hukum.

Tito memerintahkan apabila ada temuan APIP yang melakukan pemeriksaan, terdapat indikasi kerugian negara dapat dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja. (baca)

“Oleh karena APIP tak boleh takut, tak boleh ragu, tetapi wajib sampaikan secara lugas segala  hasil pemeriksanaan yang dilakukan oleh APIP. Jika APIP berfungsi baik maka progam percepatan pembangunan daerah bisa dipercepat dan mengurangi risiko pidana kepada aparat pemda,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi, Jumat (25/10/2019).

Tito memberikan rambu-rambu dalam melaporkan hasil pemeriksaan APIP tersebut.  Pertama, kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara.

Terhadap kesalahan itu, dalam waktu paling lama 10 hari kerja wajib dilakukan penyempurnaan administrasi.

Kedua, kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Terhadap kesalahan itu, paling lambat 10 hari kerja wajib dilakukan penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian keuangan negara tersebut. Terhadap hasil tersebut, wajib disampaikan kepada pihak Kejaksaan dan Kepolisian dalam waktu 5 hari kerja.

Ketiga, tindak pidana yang bukan bersifat administratif. Terhadap kesalahan ini, wajib disampaikan kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam waktu paling lama lima hari kerja.

"Hasil-hasil pemeriksaan Irjen dan jajaran APIP daerah tersebut dilaporkan kepada Mendagri melalui Irjen [Inspektur Jenderal]. Dengan konsekuensi diberikan pembinaan, sanksi administrasi, atau langsung ditindaklanjuti penegakan hukum melalui Kejaksaan atau Kepolisian," kata Tito.

Oleh karenanya, tak hanya soal sinkroninasi program Pemerintah Pusat dan Pemda, dia juga menekankan jajarannya di Kemendagri untuk mengevaluasi pembangunan daerah agar berorientasi hasil kemanfaatan untuk masyarakat.

"Periksa pelaksanaan pembangunan daerah apakah masih berorientasi proses atau orientasi hasil yang memberi manfaat kepada masyarakat. Periksa seluruh Perda dan peraturan kepala daerah yang hambat investasi di daerah," tegasnya.

Jumat, 04 Oktober 2019

TPPU Kondensat, Bareskrim Sarankan Kejagung Adili Honggo In Absentia




Lembaga Bantuan Hukum JBMI --  Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menyarankan Kejaksaan Agung agar mengadili buronan pendiri PT Trans Pasific Petrocemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno secara in absentia.

Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Helmi Santika mengakui Kepolisian memiliki kendala untuk menghadirkan tersangka Honggo Wendratno yang sudah buron sejak beberapa tahun lalu.

Honggo Wendratno sendiri telah dinyatakan buron setelah ditetapkan sebagai tersangka beberapa tahun lalu terkait, perkara dugaan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) penjualan kondensat bagian negara yang menurut BPK telah merugikan keuangan negara sebesar US$2,716 miliar. (baca)

Menurutnya, setelah dilacak tim penyidik, hingga saat ini Honggo Wendratno masih berada di negara Singapura dan mulai menetap di sana agar tidak bisa ditangkap tim penyidik Bareskrim Polri.

"Dia (Honggo Wendratno) itu ada di Singapura ya. Indonesia dan Singapura itu tidak punya kerja sama ekstradisi, jadi kita mau bagaimana lagi," tuturnya, Kamis (5/9/2019).

Dia juga menuding Kepolisian Singapura sampai kini tidak kooperatif untuk menyerahkan buronan Honggo Wendratno kepada Polri untuk diproses hukum. Padahal, menurutnya, Polri sudah sejak lama bekerja sama dengan Interpol, menerbitkan red notice dan meminta Kepolisian Singapura agar menangkap Honggo untuk diserahkan ke Polri, namun sampai saat ini permintaan tersebut tidak dijalankan Kepolisian Singapura.

"Terus kita mau bagaimana, kalau pihak Singapura tidak mau kooperatif untuk serahkan Honggo, mau gimana lagi coba," katanya.

Helmi berpandangan bahwa perkara dugaan tindak pidana korupsi penjualan kondensat bagian negara adalah kasus korupsi terbesar sejak Indonesia ini berdiri, karena itu dia meminta semua stakeholder untuk bekerja sama meringkus dan membawa Honggo Wendratno pulang ke Indonesia untuk diproses hukum oleh Bareskrim Polri.

"Kasus kondesat itu adalah kasus terbesar dan rekor total loss sejak republik ini berdiri dengan kerugian negara yang cukup besar. Sebaiknya diadili secara in absentia saja, tapi itu kewenangan Kejaksaan, tugas penyidik hanya mengumpulkan alat bukti selanjutnya terserah Kejaksaan," ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu tim penyidik Bareskrim Polri melimpahkan tersangka Honggo Wendratno ke Kejaksaan Agung.

"Kami masih menunggu penyidik melimpahkan dia (Honggo) ya," tuturnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung H.M Prasetyo mengaku pihaknya tidak berhenti mendesak tim penyidik Bareskrim Polri untuk melakukan pelimpahan tahap dua untuk tiga tersangka kasus kondensat, termasuk Honggo kendati buron. Alasannya, agar tidak terjadi perbedaan perlakukan penegak hukum terhadap para tersangka.

"Dulu kan memang harapan saya kenapa dari Polri harus menyerahkan berkas ketiga tersangka itu yaitu agar tidak ada disparitas perlakuan terhadap para tersangka," katanya.

Seperti diketahui, Honggo telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait penjualan kondensat bagian negara.

Badan Pemeriksa Keuangan menaksir kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) mencapai US$2,716 miliar.

Dalam kasus yang menyeret tiga tersangka, yakni mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, dan pendiri PT TPPI Honggo Wendratno tersebut, penyidik sudah memeriksa puluhan saksi dari unsur SKK Migas, TPPI, Kementerian Keuangan, Pertamina, dan Kementerian ESDM.

Kasus bermula dari penunjukan langsung BP Migas terhadap PT TPPI pada bulan Oktober 2008 terkait penjualan kondensat dalam kurun 2009 sampai 2010. Perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut dilakukan Maret 2009.

Penunjukan langsung ini menyalahi Peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondesat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjualan Minyak Mentah Bagian Negara.