Info Kontak:

Minggu, 13 April 2025

Mesti Dipisah, Jejak Minangkabau di Tanah Batak tak Bisa Dihapus Begitu Saja


SILINDUNG – Di tengah lanskap perbukitan dan danau yang memesona di Toba, tersimpan kisah panjang yang tak hanya menyoal asal-usul geografis, tetapi juga pergulatan identitas budaya dan politik. Kisah lama yang menghubungkan suku Batak dengan Minangkabau bukan sekadar legenda, melainkan cerminan dari interaksi kultural yang mendalam, bahkan hingga ke ranah kekuasaan.

Diceritakan bahwa para penduduk awal menetap di timur Danau Toba karena pesona alamnya. Ketika populasi meningkat, mereka menyebar ke wilayah Silindung, lalu ke utara hingga Dairi dan ke selatan hingga Angkola. Penyebaran ini lambat laun membawa penduduk Batak bersinggungan dengan pengaruh Minangkabau yang kala itu dikenal sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan di Sumatera.

Cerita rakyat mencatat bahwa Sultan Minangkabau, yang dianggap keturunan Iskandar Agung, pernah melakukan perjalanan keliling Sumatera dan menunjuk para pemimpin lokal, termasuk untuk wilayah Batak. Ia pun memberikan tanda warisan: noda hitam di bawah lidah sebagai penanda pemimpin sejati Batak di masa depan. Petunjuk itu menjadi bagian dari narasi sakral yang bertahan turun-temurun.

Menariknya, kepala daerah Silindung menyebut bahwa hingga kini Sultan Minangkabau tetap dihormati lebih tinggi dari para kepala suku Batak. Perintah dari Sultan, walau sederhana, diyakini akan segera dilaksanakan dengan penuh patuh oleh masyarakat. Kisah ini memperlihatkan sebuah bentuk ketundukan simbolik yang melampaui ikatan politik biasa.

Namun sejarah tak berhenti sebagai mitos. Tulisan Sanusi Pane tahun 1926 membuka babak baru bagaimana suku Batak mulai menegaskan identitasnya. Dalam karyanya yang berjudul “Anak Muda Batak di Antara Internasionalisme dan Nasionalisme,” Sanusi mencatat bagaimana pemuda Batak mulai melepaskan diri dari dominasi identitas Minangkabau dalam ranah politik kebangsaan.

Kala itu, Jong Sumatranen Bond (JSB) didominasi oleh pemuda Minang, namun anak muda Batak kemudian membentuk Jong Bataks Bond (JBB). Organisasi ini menjadi simbol lahirnya kesadaran politik dan budaya yang berdiri sendiri, terpisah dari bayang-bayang dominasi Minang. Ini bukan hanya tentang identitas etnis, tapi tentang cita-cita nasionalisme dan kemerdekaan yang lebih luas.

Sanusi menyebut bahwa pemuda Batak dan Mandailing masih seperti ladang yang belum digarap. Ia mengingatkan pentingnya memilih bibit yang tepat—ide, visi, dan semangat—karena apapun yang ditanam di ladang subur itu pasti akan tumbuh. Sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul para pemuda pada masa itu.

Ia menegaskan bahwa mata rakyat telah tertuju pada kaum muda. Rakyat belum terbawa arus zaman, dan di sanalah peran pemuda sebagai penjaga gerbang masa depan tanah air dipertaruhkan. Sanusi percaya, kebudayaan Batak yang seolah tertidur itu sejatinya tersembunyi di kedalaman jiwa rakyat, hanya menunggu disentuh dan dibangkitkan.

Konsepsi nasionalisme yang diangkat Sanusi bukan semata-mata tentang politik formal, tetapi tentang membangkitkan kembali roh kebudayaan yang otentik. Ia memandang kebudayaan Batak sebagai kekuatan tersembunyi yang siap berkembang jika disentuh dengan tepat. Sebuah pandangan visioner tentang pentingnya budaya sebagai fondasi kebangsaan.

Persimpangan antara legenda dan gerakan politik ini menjadikan sejarah Batak begitu kompleks. Di satu sisi, ada pengaruh mendalam Minangkabau melalui cerita-cerita luhur. Di sisi lain, muncul semangat perlawanan halus dalam bentuk artikulasi identitas yang mandiri oleh pemuda-pemuda Batak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menjadi bangsa tidak pernah linier. Ia diwarnai tarik-menarik antara identitas kolektif yang lebih besar dan identitas lokal yang ingin didengar dan diakui. Jong Bataks Bond adalah simbol dari tekad tersebut—membangun Indonesia dari akar, bukan hanya dari pusat.

Cerita tentang tanda hitam di bawah lidah kini menjadi bagian dari folklore, tapi semangatnya hidup dalam perjuangan pemuda Batak era 1920-an yang ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri sejajar. Tidak lagi sebagai pelengkap dalam cerita besar, melainkan sebagai aktor utama dalam sejarah Indonesia.

Hubungan antara Batak dan Minangkabau tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang migrasi, pertukaran budaya, hingga kerjasama dan ketegangan. Namun yang muncul dari semua itu adalah dinamika yang memperkaya identitas Indonesia—satu bangsa, tapi dengan banyak wajah yang saling bersinggungan.

Cerita ini juga menyiratkan bahwa sejarah kita dibangun bukan hanya oleh senjata dan perjanjian politik, tapi juga oleh cerita, gagasan, dan semangat para pemuda yang percaya pada masa depan. Semangat yang diwariskan Sanusi Pane masih relevan: bahwa nasionalisme dimulai dari keberanian untuk mengenal dan menyuarakan jati diri.

Hari ini, jejak cerita antara Batak dan Minangkabau tetap hidup, baik dalam narasi rakyat maupun dalam penggalan sejarah yang kini dikaji ulang. Ini bukan sekadar sejarah lokal, tetapi bagian penting dari pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar karena keberagamannya.

Dari tepian Danau Toba hingga podium-podium pergerakan nasional, narasi Batak terus berkembang. Dari legenda noda lidah hingga gema suara Sanusi Pane, sejarah ini adalah milik kita semua: cermin dari keberanian untuk menjadi diri sendiri dalam jalan menuju Indonesia.

Tidak ada komentar:
Write komentar