Meski sama-sama menjadi korban kekerasan sistematis, tragedi kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar tak mendapatkan sorotan seintensif konflik di Gaza. Padahal, krisis Rohingya telah berlangsung jauh lebih lama, dengan dampak pengungsian dan genosida yang terus berlanjut hingga kini. Situasi memilukan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh pun nyaris tak lagi menjadi headline media internasional.
Salah satu alasan utama perbedaan eksposur ini adalah faktor geopolitik. Palestina, sejak lama menjadi isu global yang melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Iran, Uni Eropa, hingga Liga Arab. Setiap ketegangan di Gaza selalu memantik sikap diplomatik berbagai negara, baik sekutu maupun rival Israel. Sedangkan Rohingya, posisinya terperangkap di antara negara-negara Asia Tenggara yang cenderung menghindari isu internal negara tetangga.
Selain itu, hubungan erat Myanmar dengan China turut mempersulit desakan internasional. Beijing memiliki kepentingan strategis dan ekonomi di Rakhine State, tempat Rohingya terusir. Proyek pelabuhan dan pipa gas Myanmar-China membuat negara itu sulit ditekan soal isu kemanusiaan. Berbeda dengan Palestina yang secara langsung bersentuhan dengan proyek geopolitik di Timur Tengah yang lebih terbuka.
Di sisi lain, media internasional juga cenderung lebih aktif meliput isu-isu yang berdampak langsung terhadap kebijakan luar negeri Barat. Gaza dinilai berdampak terhadap keamanan Eropa dan Amerika, sementara Rohingya dianggap isu regional semata. Hal ini diperparah dengan lemahnya diplomasi negara-negara ASEAN dalam mengangkat isu Rohingya ke forum internasional.
Faktor penting lainnya adalah narasi solidaritas keagamaan yang lebih mengakar pada isu Gaza. Palestina kerap dijadikan simbol perjuangan umat Muslim global, dengan berbagai demonstrasi besar di kota-kota Eropa dan Timur Tengah. Sebaliknya, meskipun Rohingya juga mayoritas Muslim, mereka kurang mendapat mobilisasi solidaritas berskala global. Narasi penderitaan Rohingya kerap dibatasi pada isu kemanusiaan murni tanpa sentuhan politis.
Konflik di Gaza juga diiringi visual yang dramatis, tayangan serangan udara, korban sipil, dan reruntuhan gedung di tengah kota modern yang disiarkan langsung. Sedangkan tragedi Rohingya lebih banyak terjadi di pedalaman, di kamp-kamp pengungsian, atau desa-desa kecil yang sulit dijangkau kamera media global. Ini membuat liputan terhadap Rohingya lebih sporadis dan kehilangan daya pikat visual di layar kaca.
Ketiadaan aktor politik global yang serius memperjuangkan Rohingya menjadi kendala lainnya. Palestina memiliki berbagai utusan, perwakilan, dan lobi kuat di PBB maupun Uni Eropa. Sementara Rohingya hanya mengandalkan sejumlah aktivis diaspora tanpa kekuatan politik besar. Bahkan hingga kini, tak ada perwakilan resmi Rohingya di forum ASEAN atau OKI yang dapat berbicara setara dengan negara-negara anggota.
Situasi politik internal Myanmar yang kompleks juga membuat pemberitaan isu Rohingya tak kunjung tuntas. Pasca kudeta militer, perhatian dunia lebih fokus pada perlawanan sipil anti-junta ketimbang penderitaan Rohingya. Apalagi kelompok etnis bersenjata seperti Arakan Army yang kini menguasai Rakhine pun tak berpihak pada Rohingya. Hal ini membuat konflik Rohingya terus terpinggirkan dari diskursus global.
Isu Rohingya juga kalah dalam persaingan perhatian donor kemanusiaan. Dana-dana besar lebih banyak mengalir ke Palestina, Ukraina, atau Sudan. Sejak 2023, anggaran bantuan untuk kamp Rohingya di Cox’s Bazar dipotong lebih dari separuh. Akibatnya, krisis gizi, pendidikan, dan layanan kesehatan memburuk tanpa liputan memadai dari media internasional.
Stigma terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh dan Asia Tenggara turut memperburuk keadaan. Di banyak negara, Rohingya dipandang sebagai beban sosial dan ancaman keamanan. Sikap inilah yang membuat media lokal pun enggan terlalu intens mengangkat penderitaan mereka, khawatir menuai reaksi negatif dari publik.
Dr Ambia Parveen dari European Rohingya Council menyebut krisis Rohingya kini seolah menjadi "isu Palestina-nya Asia", yakni tragedi panjang yang dibiarkan membusuk tanpa solusi nyata. Ia mengkritik sikap dunia yang hanya mengirimkan pernyataan tanpa tindakan konkret. Bahkan PBB dan negara-negara besar dinilai tak sungguh-sungguh mendorong repatriasi Rohingya ke Myanmar.
Sebagian pengamat berpendapat, selama tidak ada perubahan signifikan di dalam Myanmar, isu Rohingya akan tetap menjadi "konflik sunyi". Media internasional pun lebih tertarik memberitakan konflik bersenjata langsung atau serangan udara ketimbang penderitaan di kamp pengungsi. Hal ini diperparah dengan sulitnya akses jurnalis ke wilayah Rakhine yang dikontrol ketat militer dan Arakan Army.
Solidaritas dunia Islam terhadap Rohingya pun dinilai minim. Beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia memang bersuara, tapi hanya sebatas retorika diplomatik tanpa tekanan politik. Organisasi OKI pun lebih sering mengeluarkan pernyataan kecaman ketimbang langkah konkret. Dibanding Gaza, Rohingya jelas kalah dalam hal mobilisasi solidaritas lintas negara Muslim.
Di Eropa dan Amerika, isu Gaza kerap berkaitan langsung dengan politik domestik dan hubungan dengan komunitas Yahudi maupun Arab. Sementara isu Rohingya tak memiliki bobot politik serupa. Hal ini membuat politisi Barat jarang menjadikan Rohingya sebagai agenda kampanye atau kepentingan politik luar negeri mereka.
Konflik Rohingya yang dianggap internal Myanmar membuat banyak negara memilih pendekatan hati-hati. Mereka enggan mengecam terlalu keras karena khawatir merusak hubungan dagang dan investasi. Berbeda dengan Palestina yang sejak awal telah menjadi isu global yang tidak bisa diabaikan oleh kekuatan Barat.
Kampanye media sosial soal Gaza juga jauh lebih masif. Tagar-tagar soal Palestina rutin trending secara global, sementara kampanye online untuk Rohingya jarang bertahan lama. Minimnya dukungan dari selebritas internasional atau tokoh publik dunia juga membuat isu Rohingya tenggelam di jagat media sosial.
Berbagai pihak menyebut jika ingin Rohingya mendapat perhatian setara dengan Gaza, dibutuhkan kerja kolektif, diplomasi agresif, dan solidaritas lintas negara. Tanpa itu, tragedi kemanusiaan yang dialami Rohingya akan terus menjadi isu regional tanpa suara di panggung dunia.
Krisis Rohingya sejatinya bukan sekadar masalah kemanusiaan, tapi juga soal politik identitas, hak kewarganegaraan, dan keadilan sejarah. Jika dunia terus abai, dikhawatirkan genosida terhadap etnis ini akan terus berulang tanpa pernah ada pertanggungjawaban.
Selama media internasional belum menjadikan Rohingya sebagai headline rutin, dunia seakan membiarkan sejarah kejam ini terus berjalan di balik bayang-bayang Gaza. Sebuah ironi pahit dari selektivitas perhatian global terhadap tragedi kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Write komentar