Info Kontak:

Kamis, 18 Desember 2025

Riwayat Penghulu Mungkur Lawan Belanda


Sejarah perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Tanah Gayo menyimpan banyak kisah yang belum sepenuhnya dikenal luas. Di balik nama besar tokoh-tokoh Aceh dan Gayo, terdapat figur-figur lokal yang memainkan peran penting dalam mengusir kekuasaan kolonial dari pedalaman Sumatra.

Salah satu sosok yang menonjol adalah Penghulu Mungkur. Namanya jarang muncul dalam buku sejarah arus utama, namun perannya nyata dalam jaringan perlawanan rakyat Gayo terhadap dominasi militer dan ekonomi Belanda pada awal abad ke-20.

Penghulu Mungkur dikenal sebagai pemimpin adat yang memiliki pengaruh kuat di wilayahnya. Sebagai penghulu, ia tidak hanya mengatur urusan masyarakat, tetapi juga menjadi penghubung antara perjuangan bersenjata, nilai adat, dan semangat keagamaan.

Menariknya, Mungkur bukan sekadar nama tokoh lokal. Marga Mungkur tercatat sebagai bagian dari rumpun marga Marbun dalam masyarakat Batak, khususnya yang kini bermukim di wilayah Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Fakta ini membuka perspektif baru tentang keterhubungan sejarah Gayo dan Batak dalam konteks perlawanan kolonial.

Keberadaan Penghulu Mungkur menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Belanda tidak bersifat terisolasi secara etnis. Ia mencerminkan jaringan sosial dan kekerabatan lintas wilayah yang sama-sama tertekan oleh sistem kolonial.

Pada awal abad ke-20, Tanoh Gayo berada dalam tekanan hebat. Belanda tidak hanya membangun pos militer, tetapi juga mengeksploitasi sumber daya alam, terutama getah pinus, dengan memaksa rakyat bekerja tanpa upah yang layak.

Dalam situasi inilah muncul sosok Aman Njerang, pejuang gerilya Gayo yang telah puluhan tahun menjadi momok bagi pasukan Marechaussee atau Marsose. Sejak muda, Aman Njerang telah menyimpan kemarahan terhadap sistem pajak dan penindasan Belanda di jalur perdagangan Gayo.

Aman Njerang tumbuh sebagai pemuda pendiam namun gesit. Ia sering menemani ayahnya berdagang hasil hutan dan ternak ke berbagai wilayah seperti Serbejadi, Langsa, hingga Meulaboh, perjalanan panjang yang membuka matanya pada ketidakadilan kolonial.

Kemarahan Aman Njerang memuncak ketika mendengar pembantaian besar-besaran terhadap orang Gayo oleh pasukan Van Daalen. Peristiwa itu menjadi titik balik yang mengobarkan semangat jihad dan perlawanan bersenjata.

Sejak 1902, Aman Njerang memilih hidup mengembara di hutan belantara Gayo. Ia menyerang pos-pos Belanda, mengganggu jalur logistik, dan membersihkan jalur perdagangan agar rakyat Gayo dapat berdagang tanpa pungutan dan perampasan.

Pada pertengahan 1916, ketegangan meningkat akibat perlakuan tidak adil terhadap penderes getah pinus di wilayah Bintang dan Linge. Belanda memaksa kerja rodi, sementara ratusan orang jatuh sakit dan meninggal akibat malaria dan kelelahan.

Dalam kondisi inilah Aman Njerang mengutus Aman Rasum untuk menemui Penghulu Mungkur. Pertemuan ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perlawanan Gayo, karena menyatukan dua kekuatan lokal yang selama ini bergerak sendiri-sendiri.

Penghulu Mungkur menyambut ajakan tersebut. Sebagai pemimpin adat, ia memahami bahwa perlawanan bukan hanya soal senjata, tetapi juga mempertahankan martabat dan hak hidup masyarakatnya.

Kesepakatan pun tercapai untuk menyerang Bivak Jamat, salah satu basis penting Belanda. Persiapan dilakukan secara rahasia, bahkan melibatkan seorang ulama perempuan dari Weh Dusun, yang menunjukkan luasnya dukungan rakyat terhadap perlawanan ini.

Pada awal Agustus 1916, pasukan gabungan bergerak senyap. Pasukan Aman Njerang, Penghulu Mungkur, dan kelompok ulama perempuan berhasil melumpuhkan Bivak Jamat tanpa perlawanan berarti, sebuah pukulan telak bagi Belanda.

Kabar runtuhnya Bivak Jamat segera sampai ke Takengon. Belanda merespons dengan mengirim pasukan Marsose bersenjata lengkap untuk mengejar dan memukul balik para pejuang.

Namun, pada 9 hingga 10 Agustus 1916, terjadi peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Kisah Serule. Selama dua hari dua malam, pasukan Marsose dipukul mundur oleh pasukan Aman Njerang dan sekutunya.

Peristiwa ini mempermalukan Belanda. Pasukan elit kolonial yang selama ini ditakuti justru gagal menembus perlawanan rakyat yang bersenjatakan tekad dan pengetahuan medan.

Peran Penghulu Mungkur dalam peristiwa ini menegaskan bahwa ia bukan hanya tokoh adat, tetapi juga pahlawan perlawanan. Fakta bahwa marga Mungkur kini dikenal dalam rumpun marga Marbun, memperkaya narasi sejarah lintas etnis di Sumatra.

Kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan Belanda adalah perjuangan bersama, melampaui batas suku dan wilayah. Tanoh Gayo menjadi panggung perlawanan rakyat yang disatukan oleh penderitaan yang sama.

Hingga kini, nama Aman Njerang dan Penghulu Mungkur masih hidup dalam ingatan lokal, meski belum sepenuhnya mendapat tempat dalam sejarah nasional. Kisah mereka adalah pengingat bahwa banyak pahlawan lahir dari pedalaman, berjuang tanpa pamrih, dan meninggalkan jejak keberanian yang patut dikenang.


Catatan, di Makam Panglima Sisingamangaraja XII Tarabintang, juga terdapat nama-nama dengan marga Mungkur, berikut di antara namanya. Sebagian berasal dari Aceh.

Inilah nama-nama 37 Panglima Raja Sisingamangaraja XII  yang tewas di bunuh Belanda ;

1. Manase Simorangkir, Komandan Perang yang berasal dari Tarutung.

2. Pangulima Jonggak yang berasal dari Aceh.

3. Rior Purba yang berasal dari Bakara.

4. Jommel yang mungkin berasal dari Pakpak.

5. Lengkap yang berasal dari Pakpak.

6. Ranggit  Tinambunan yang berasal dari Kasturi, Parlilitan.

7. Teuku Imun yang berasal dari Aceh.

8. Teuku Brahim yang berasal dari Aceh.

9. Ronggur Berutu yang berasal dari Pakpak.

10. Rakit Sikedang yang berasal dari Gayor, Aceh.

11. Renteng Manik, yang berasal dari Pakpak.

12. Sumpat Capah yang berasal dari Pakpak.

13. Haposan yang diduga berasal dari Pusuk, Parlilitan.

14. Ikut Maha yang berasal dari Simbara,Parlilitan.

15. Tuan Nabolas yang berasal dari Pusuk, Parlilitan.

16. Jugul Mungkur yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

17. Pa Gotik Mungkur yang berasal dari Rambung,Tarabintang.

18. Jongkeh Mungkur yang berasal dari Anggota,Tarabintang

19.  Cuba Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

20.  Dukut Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

21. Kutur Nahampun yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

22. Tiba yang berasal dari Toba

23. Opung Sonia Situmorang yang berasal dari Sihorbo, Pakkat.

24. Balno yang di duga berasal dari Pakpak.

25. Tinggal Tumanggor yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.

26.  Mangantar Sitohang yang berasal dari Laemaga, Tarabintang.

27. Jangil Mungkur yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.

Tidak ada komentar:
Write komentar