Aden, Yaman — Kegagalan penyelenggaraan sektor publik di ibu kota sementara Yaman Selatan, Aden, memunculkan kritik keras terhadap Southern Transitional Council (STC), meskipun secara hukum tanggung jawab utama berada di tangan Presidential Leadership Council (PLC). Banyak warga dan pengamat menilai STC bertindak seolah-olah menjadi pemerintah de facto di wilayah yang mereka kuasai, sehingga segala kegagalan operasional dan layanan publik yang terlihat di lapangan langsung dikaitkan dengan mereka.
Situasi ini muncul setelah percobaan STC untuk mengumpulkan dukungan publik di Show Square, Khor Maksar, Aden. Upaya ini mencakup penyediaan tenda, makanan, logistik, hingga hiburan berupa band, tarian, dan pertunjukan seni. Namun jumlah pengunjung jauh di bawah harapan, sehingga acara yang dirancang untuk menunjukkan legitimasi politik dan dukungan rakyat berakhir dengan wajah kosong dan kritik sosial yang meluas.
Pakar politik lokal menegaskan bahwa kegagalan tersebut bukan semata karena STC tidak mampu menghibur warga, melainkan karena masyarakat masih mempertanyakan legitimasi dan kapasitas STC sebagai pengelola administrasi publik. STC memang menguasai aparat lokal dan memiliki pengaruh nyata di lapangan, sehingga masyarakat melihat mereka sebagai aktor utama, meskipun PLC adalah pihak yang secara formal memiliki tanggung jawab hukum.
Dalam kasus ini, STC terlihat mengambil peran operasional langsung, mulai dari penyediaan tenda hingga pengaturan logistik acara, sehingga warga menilai kegagalan sebagai akibat tindakan atau keputusan mereka. Analisis ini menunjukkan bahwa di mata publik, efektivitas di lapangan lebih penting daripada status formal, sehingga STC menjadi sasaran kritik meski secara hukum tanggung jawab ada pada PLC.
Fenomena ini berbeda dengan wilayah yang dikuasai SDF di Suriah. Di sana, meski pemerintah de facto mengelola wilayah, setiap kegagalan operasional atau layanan publik biasanya tidak diarahkan ke kelompok lokal semata. Sebab, SDF memiliki struktur pemerintahan yang jelas, integrasi dengan pemerintah pusat Suriah dan lembaga internasional, serta masyarakat lebih memahami peran de facto mereka dibandingkan pemerintahan formal.
Sementara itu, di wilayah Suwayda yang dikuasai milisi Al Hajri dan negara buatannya Jabal Bashan, situasi serupa tidak terjadi. Masyarakat lokal mengetahui bahwa pemerintahan milisi adalah entitas politik yang terbatas, sehingga kritik lebih diarahkan pada sistem keseluruhan daripada individu atau kelompok tertentu. Selain itu, milisi Al Hajri mengatur keamanan dan administrasi secara ketat, sehingga ruang publik untuk menilai layanan publik relatif terbatas.
Kondisi di Aden memperlihatkan bahwa ketika kelompok lokal berperan langsung dalam layanan publik, mereka akan terlihat bertanggung jawab oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan paradoks: STC dikritik karena melakukan sesuatu yang sebenarnya menjadi fungsi PLC. Meski demikian, kritik publik menjadi cerminan dari ekspektasi masyarakat terhadap efektivitas pengelolaan layanan publik di wilayah mereka.
Observasi dari pengamat politik mengatakan bahwa fenomena ini memperlihatkan perbedaan persepsi antara tanggung jawab hukum dan tanggung jawab nyata. Di wilayah yang dikontrol oleh milisi atau de facto authority lain, publik cenderung mengerti batas-batas kapasitas kelompok tersebut. Sementara di Aden, STC hadir sebagai pengelola nyata, sehingga kegagalan apa pun langsung dikaitkan dengan mereka.
Kasus panggung publik di Show Square menunjukkan bahwa meskipun STC menyiapkan berbagai sarana untuk menarik perhatian warga, termasuk hiburan dan logistik lengkap, jumlah warga yang hadir tetap minim. Hal ini menandakan bahwa publik tidak hanya menilai kemampuan penyelenggara acara, tetapi juga legitimasi politik dan kepercayaan terhadap aktor lokal.
Sementara itu, PLC, sebagai pemerintah resmi, tetap memiliki tanggung jawab hukum, tetapi karena tidak terlihat langsung di lapangan, kritik publik terhadap mereka relatif lebih kecil. Hal ini menekankan bahwa persepsi publik sering lebih kuat dibanding tanggung jawab formal dalam konteks politik dan layanan publik.
Pengamat sosial menyatakan bahwa fenomena ini juga terkait dengan komunikasi dan narasi politik. STC memiliki akses langsung ke media lokal dan sosial, sehingga setiap kegiatan yang mereka lakukan terekam publik secara nyata. Ketiadaan kehadiran PLC di level operasional membuat masyarakat lebih mudah menilai keberhasilan atau kegagalan STC daripada PLC.
Di sisi lain, wilayah SDF Suriah memiliki mekanisme koordinasi yang lebih transparan, sehingga masyarakat tahu siapa yang bertanggung jawab untuk layanan tertentu. Hal ini mengurangi kemungkinan individu atau kelompok lokal menjadi sasaran kritik tunggal. Sistem birokrasi yang jelas dan dukungan lembaga internasional membantu masyarakat memahami batas kapasitas pengelola de facto.
Wilayah Suwayda juga berbeda. Pemerintahan Jabal Bashan yang dikontrol milisi Al Hajri menetapkan aturan yang ketat, termasuk pembatasan akses publik terhadap beberapa kegiatan administratif. Dengan kontrol yang lebih kaku, masyarakat tidak menilai layanan publik secara langsung, sehingga kegagalan sektor publik jarang dikritik secara terbuka.
Perbandingan ini menekankan bahwa tingkat transparansi, keterlibatan publik, dan persepsi legitimasi sangat memengaruhi siapa yang dikritik atas kegagalan sektor publik. STC di Aden menjadi sorotan karena mereka terlihat menjalankan peran pemerintahan sehari-hari, sementara PLC tetap berada di tingkat formal.
Kegagalan STC dalam menarik massa ke Show Square juga menyoroti ketidakselarasan antara aspirasi politik dan kemampuan organisasi. Meskipun mereka memiliki sumber daya untuk logistik dan hiburan, kepercayaan publik dan motivasi warga tidak dapat dibeli semata dengan fasilitas fisik.
Beberapa pengamat menilai bahwa kritik publik terhadap STC adalah indikator penting bagi pemerintah selatan untuk mengevaluasi strategi komunikasi politik mereka. Transparansi dalam penyampaian tanggung jawab dan kerja sama yang jelas dengan PLC dapat membantu mengurangi salah tafsir publik.
Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan perlunya pendekatan manajemen sektor publik berbasis persepsi masyarakat. Keberhasilan layanan publik tidak hanya diukur dari penyediaan fasilitas, tetapi juga dari pengakuan dan penerimaan publik terhadap otoritas yang menjalankannya.
Di Aden, kegagalan STC membuka peluang bagi PLC untuk menguatkan koordinasi, mengingat bahwa tanggung jawab formal mereka tetap ada. Penyesuaian strategi komunikasi dan kolaborasi dengan STC dapat meningkatkan efektivitas layanan publik dan mengurangi kritik terhadap aktor lokal.
Sementara itu, di wilayah SDF dan Suwayda, struktur yang lebih jelas dan kontrol yang ketat membuat persepsi publik terhadap aktor lokal lebih stabil. Hal ini mencegah terjadinya fenomena serupa seperti di Aden, di mana aktor lokal langsung disalahkan meskipun tanggung jawab hukum berada pada pemerintah pusat atau PLC.
Kritik terhadap STC di Aden juga mencerminkan dinamika politik yang kompleks, di mana legitimasi formal dan legitimasi operasional sering berbeda. Masyarakat menilai keberhasilan pengelolaan layanan publik berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami langsung, bukan berdasarkan hierarki hukum.
Secara keseluruhan, kasus ini menegaskan bahwa legitimasi politik lokal, persepsi publik, dan kehadiran fisik di lapangan menentukan siapa yang dikritik dalam sektor publik. STC menjadi target utama kritik karena mereka hadir dan beroperasi nyata di masyarakat, sedangkan PLC tetap berada di level formal yang jarang terlihat.
Fenomena ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Yaman Selatan dan kelompok lokal: kegagalan layanan publik akan langsung memengaruhi persepsi legitimasi, terlepas dari siapa yang secara hukum bertanggung jawab. Transparansi, koordinasi, dan komunikasi efektif menjadi kunci untuk mengurangi konflik persepsi di masyarakat.







Tidak ada komentar:
Write komentar