Info Kontak:

Senin, 22 Desember 2025

STC Dikritik, Kegagalan Layanan Publik Yaman Jadi Sorotan


Aden, Yaman — Kegagalan penyelenggaraan sektor publik di ibu kota sementara Yaman Selatan, Aden, memunculkan kritik keras terhadap Southern Transitional Council (STC), meskipun secara hukum tanggung jawab utama berada di tangan Presidential Leadership Council (PLC). Banyak warga dan pengamat menilai STC bertindak seolah-olah menjadi pemerintah de facto di wilayah yang mereka kuasai, sehingga segala kegagalan operasional dan layanan publik yang terlihat di lapangan langsung dikaitkan dengan mereka.

Situasi ini muncul setelah percobaan STC untuk mengumpulkan dukungan publik di Show Square, Khor Maksar, Aden. Upaya ini mencakup penyediaan tenda, makanan, logistik, hingga hiburan berupa band, tarian, dan pertunjukan seni. Namun jumlah pengunjung jauh di bawah harapan, sehingga acara yang dirancang untuk menunjukkan legitimasi politik dan dukungan rakyat berakhir dengan wajah kosong dan kritik sosial yang meluas.

Pakar politik lokal menegaskan bahwa kegagalan tersebut bukan semata karena STC tidak mampu menghibur warga, melainkan karena masyarakat masih mempertanyakan legitimasi dan kapasitas STC sebagai pengelola administrasi publik. STC memang menguasai aparat lokal dan memiliki pengaruh nyata di lapangan, sehingga masyarakat melihat mereka sebagai aktor utama, meskipun PLC adalah pihak yang secara formal memiliki tanggung jawab hukum.

Dalam kasus ini, STC terlihat mengambil peran operasional langsung, mulai dari penyediaan tenda hingga pengaturan logistik acara, sehingga warga menilai kegagalan sebagai akibat tindakan atau keputusan mereka. Analisis ini menunjukkan bahwa di mata publik, efektivitas di lapangan lebih penting daripada status formal, sehingga STC menjadi sasaran kritik meski secara hukum tanggung jawab ada pada PLC.

Fenomena ini berbeda dengan wilayah yang dikuasai SDF di Suriah. Di sana, meski pemerintah de facto mengelola wilayah, setiap kegagalan operasional atau layanan publik biasanya tidak diarahkan ke kelompok lokal semata. Sebab, SDF memiliki struktur pemerintahan yang jelas, integrasi dengan pemerintah pusat Suriah dan lembaga internasional, serta masyarakat lebih memahami peran de facto mereka dibandingkan pemerintahan formal.

Sementara itu, di wilayah Suwayda yang dikuasai milisi Al Hajri dan negara buatannya Jabal Bashan, situasi serupa tidak terjadi. Masyarakat lokal mengetahui bahwa pemerintahan milisi adalah entitas politik yang terbatas, sehingga kritik lebih diarahkan pada sistem keseluruhan daripada individu atau kelompok tertentu. Selain itu, milisi Al Hajri mengatur keamanan dan administrasi secara ketat, sehingga ruang publik untuk menilai layanan publik relatif terbatas.

Kondisi di Aden memperlihatkan bahwa ketika kelompok lokal berperan langsung dalam layanan publik, mereka akan terlihat bertanggung jawab oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan paradoks: STC dikritik karena melakukan sesuatu yang sebenarnya menjadi fungsi PLC. Meski demikian, kritik publik menjadi cerminan dari ekspektasi masyarakat terhadap efektivitas pengelolaan layanan publik di wilayah mereka.

Observasi dari pengamat politik mengatakan bahwa fenomena ini memperlihatkan perbedaan persepsi antara tanggung jawab hukum dan tanggung jawab nyata. Di wilayah yang dikontrol oleh milisi atau de facto authority lain, publik cenderung mengerti batas-batas kapasitas kelompok tersebut. Sementara di Aden, STC hadir sebagai pengelola nyata, sehingga kegagalan apa pun langsung dikaitkan dengan mereka.

Kasus panggung publik di Show Square menunjukkan bahwa meskipun STC menyiapkan berbagai sarana untuk menarik perhatian warga, termasuk hiburan dan logistik lengkap, jumlah warga yang hadir tetap minim. Hal ini menandakan bahwa publik tidak hanya menilai kemampuan penyelenggara acara, tetapi juga legitimasi politik dan kepercayaan terhadap aktor lokal.

Sementara itu, PLC, sebagai pemerintah resmi, tetap memiliki tanggung jawab hukum, tetapi karena tidak terlihat langsung di lapangan, kritik publik terhadap mereka relatif lebih kecil. Hal ini menekankan bahwa persepsi publik sering lebih kuat dibanding tanggung jawab formal dalam konteks politik dan layanan publik.

Pengamat sosial menyatakan bahwa fenomena ini juga terkait dengan komunikasi dan narasi politik. STC memiliki akses langsung ke media lokal dan sosial, sehingga setiap kegiatan yang mereka lakukan terekam publik secara nyata. Ketiadaan kehadiran PLC di level operasional membuat masyarakat lebih mudah menilai keberhasilan atau kegagalan STC daripada PLC.

Di sisi lain, wilayah SDF Suriah memiliki mekanisme koordinasi yang lebih transparan, sehingga masyarakat tahu siapa yang bertanggung jawab untuk layanan tertentu. Hal ini mengurangi kemungkinan individu atau kelompok lokal menjadi sasaran kritik tunggal. Sistem birokrasi yang jelas dan dukungan lembaga internasional membantu masyarakat memahami batas kapasitas pengelola de facto.

Wilayah Suwayda juga berbeda. Pemerintahan Jabal Bashan yang dikontrol milisi Al Hajri menetapkan aturan yang ketat, termasuk pembatasan akses publik terhadap beberapa kegiatan administratif. Dengan kontrol yang lebih kaku, masyarakat tidak menilai layanan publik secara langsung, sehingga kegagalan sektor publik jarang dikritik secara terbuka.

Perbandingan ini menekankan bahwa tingkat transparansi, keterlibatan publik, dan persepsi legitimasi sangat memengaruhi siapa yang dikritik atas kegagalan sektor publik. STC di Aden menjadi sorotan karena mereka terlihat menjalankan peran pemerintahan sehari-hari, sementara PLC tetap berada di tingkat formal.

Kegagalan STC dalam menarik massa ke Show Square juga menyoroti ketidakselarasan antara aspirasi politik dan kemampuan organisasi. Meskipun mereka memiliki sumber daya untuk logistik dan hiburan, kepercayaan publik dan motivasi warga tidak dapat dibeli semata dengan fasilitas fisik.

Beberapa pengamat menilai bahwa kritik publik terhadap STC adalah indikator penting bagi pemerintah selatan untuk mengevaluasi strategi komunikasi politik mereka. Transparansi dalam penyampaian tanggung jawab dan kerja sama yang jelas dengan PLC dapat membantu mengurangi salah tafsir publik.

Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan perlunya pendekatan manajemen sektor publik berbasis persepsi masyarakat. Keberhasilan layanan publik tidak hanya diukur dari penyediaan fasilitas, tetapi juga dari pengakuan dan penerimaan publik terhadap otoritas yang menjalankannya.

Di Aden, kegagalan STC membuka peluang bagi PLC untuk menguatkan koordinasi, mengingat bahwa tanggung jawab formal mereka tetap ada. Penyesuaian strategi komunikasi dan kolaborasi dengan STC dapat meningkatkan efektivitas layanan publik dan mengurangi kritik terhadap aktor lokal.

Sementara itu, di wilayah SDF dan Suwayda, struktur yang lebih jelas dan kontrol yang ketat membuat persepsi publik terhadap aktor lokal lebih stabil. Hal ini mencegah terjadinya fenomena serupa seperti di Aden, di mana aktor lokal langsung disalahkan meskipun tanggung jawab hukum berada pada pemerintah pusat atau PLC.

Kritik terhadap STC di Aden juga mencerminkan dinamika politik yang kompleks, di mana legitimasi formal dan legitimasi operasional sering berbeda. Masyarakat menilai keberhasilan pengelolaan layanan publik berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami langsung, bukan berdasarkan hierarki hukum.

Secara keseluruhan, kasus ini menegaskan bahwa legitimasi politik lokal, persepsi publik, dan kehadiran fisik di lapangan menentukan siapa yang dikritik dalam sektor publik. STC menjadi target utama kritik karena mereka hadir dan beroperasi nyata di masyarakat, sedangkan PLC tetap berada di level formal yang jarang terlihat.

Fenomena ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Yaman Selatan dan kelompok lokal: kegagalan layanan publik akan langsung memengaruhi persepsi legitimasi, terlepas dari siapa yang secara hukum bertanggung jawab. Transparansi, koordinasi, dan komunikasi efektif menjadi kunci untuk mengurangi konflik persepsi di masyarakat.

Kamis, 18 Desember 2025

Riwayat Penghulu Mungkur Lawan Belanda


Sejarah perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Tanah Gayo menyimpan banyak kisah yang belum sepenuhnya dikenal luas. Di balik nama besar tokoh-tokoh Aceh dan Gayo, terdapat figur-figur lokal yang memainkan peran penting dalam mengusir kekuasaan kolonial dari pedalaman Sumatra.

Salah satu sosok yang menonjol adalah Penghulu Mungkur. Namanya jarang muncul dalam buku sejarah arus utama, namun perannya nyata dalam jaringan perlawanan rakyat Gayo terhadap dominasi militer dan ekonomi Belanda pada awal abad ke-20.

Penghulu Mungkur dikenal sebagai pemimpin adat yang memiliki pengaruh kuat di wilayahnya. Sebagai penghulu, ia tidak hanya mengatur urusan masyarakat, tetapi juga menjadi penghubung antara perjuangan bersenjata, nilai adat, dan semangat keagamaan.

Menariknya, Mungkur bukan sekadar nama tokoh lokal. Marga Mungkur tercatat sebagai bagian dari rumpun marga Marbun dalam masyarakat Batak, khususnya yang kini bermukim di wilayah Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Fakta ini membuka perspektif baru tentang keterhubungan sejarah Gayo dan Batak dalam konteks perlawanan kolonial.

Keberadaan Penghulu Mungkur menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Belanda tidak bersifat terisolasi secara etnis. Ia mencerminkan jaringan sosial dan kekerabatan lintas wilayah yang sama-sama tertekan oleh sistem kolonial.

Pada awal abad ke-20, Tanoh Gayo berada dalam tekanan hebat. Belanda tidak hanya membangun pos militer, tetapi juga mengeksploitasi sumber daya alam, terutama getah pinus, dengan memaksa rakyat bekerja tanpa upah yang layak.

Dalam situasi inilah muncul sosok Aman Njerang, pejuang gerilya Gayo yang telah puluhan tahun menjadi momok bagi pasukan Marechaussee atau Marsose. Sejak muda, Aman Njerang telah menyimpan kemarahan terhadap sistem pajak dan penindasan Belanda di jalur perdagangan Gayo.

Aman Njerang tumbuh sebagai pemuda pendiam namun gesit. Ia sering menemani ayahnya berdagang hasil hutan dan ternak ke berbagai wilayah seperti Serbejadi, Langsa, hingga Meulaboh, perjalanan panjang yang membuka matanya pada ketidakadilan kolonial.

Kemarahan Aman Njerang memuncak ketika mendengar pembantaian besar-besaran terhadap orang Gayo oleh pasukan Van Daalen. Peristiwa itu menjadi titik balik yang mengobarkan semangat jihad dan perlawanan bersenjata.

Sejak 1902, Aman Njerang memilih hidup mengembara di hutan belantara Gayo. Ia menyerang pos-pos Belanda, mengganggu jalur logistik, dan membersihkan jalur perdagangan agar rakyat Gayo dapat berdagang tanpa pungutan dan perampasan.

Pada pertengahan 1916, ketegangan meningkat akibat perlakuan tidak adil terhadap penderes getah pinus di wilayah Bintang dan Linge. Belanda memaksa kerja rodi, sementara ratusan orang jatuh sakit dan meninggal akibat malaria dan kelelahan.

Dalam kondisi inilah Aman Njerang mengutus Aman Rasum untuk menemui Penghulu Mungkur. Pertemuan ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perlawanan Gayo, karena menyatukan dua kekuatan lokal yang selama ini bergerak sendiri-sendiri.

Penghulu Mungkur menyambut ajakan tersebut. Sebagai pemimpin adat, ia memahami bahwa perlawanan bukan hanya soal senjata, tetapi juga mempertahankan martabat dan hak hidup masyarakatnya.

Kesepakatan pun tercapai untuk menyerang Bivak Jamat, salah satu basis penting Belanda. Persiapan dilakukan secara rahasia, bahkan melibatkan seorang ulama perempuan dari Weh Dusun, yang menunjukkan luasnya dukungan rakyat terhadap perlawanan ini.

Pada awal Agustus 1916, pasukan gabungan bergerak senyap. Pasukan Aman Njerang, Penghulu Mungkur, dan kelompok ulama perempuan berhasil melumpuhkan Bivak Jamat tanpa perlawanan berarti, sebuah pukulan telak bagi Belanda.

Kabar runtuhnya Bivak Jamat segera sampai ke Takengon. Belanda merespons dengan mengirim pasukan Marsose bersenjata lengkap untuk mengejar dan memukul balik para pejuang.

Namun, pada 9 hingga 10 Agustus 1916, terjadi peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Kisah Serule. Selama dua hari dua malam, pasukan Marsose dipukul mundur oleh pasukan Aman Njerang dan sekutunya.

Peristiwa ini mempermalukan Belanda. Pasukan elit kolonial yang selama ini ditakuti justru gagal menembus perlawanan rakyat yang bersenjatakan tekad dan pengetahuan medan.

Peran Penghulu Mungkur dalam peristiwa ini menegaskan bahwa ia bukan hanya tokoh adat, tetapi juga pahlawan perlawanan. Fakta bahwa marga Mungkur kini dikenal dalam rumpun marga Marbun, memperkaya narasi sejarah lintas etnis di Sumatra.

Kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan Belanda adalah perjuangan bersama, melampaui batas suku dan wilayah. Tanoh Gayo menjadi panggung perlawanan rakyat yang disatukan oleh penderitaan yang sama.

Hingga kini, nama Aman Njerang dan Penghulu Mungkur masih hidup dalam ingatan lokal, meski belum sepenuhnya mendapat tempat dalam sejarah nasional. Kisah mereka adalah pengingat bahwa banyak pahlawan lahir dari pedalaman, berjuang tanpa pamrih, dan meninggalkan jejak keberanian yang patut dikenang.


Catatan, di Makam Panglima Sisingamangaraja XII Tarabintang, juga terdapat nama-nama dengan marga Mungkur, berikut di antara namanya. Sebagian berasal dari Aceh.

Inilah nama-nama 37 Panglima Raja Sisingamangaraja XII  yang tewas di bunuh Belanda ;

1. Manase Simorangkir, Komandan Perang yang berasal dari Tarutung.

2. Pangulima Jonggak yang berasal dari Aceh.

3. Rior Purba yang berasal dari Bakara.

4. Jommel yang mungkin berasal dari Pakpak.

5. Lengkap yang berasal dari Pakpak.

6. Ranggit  Tinambunan yang berasal dari Kasturi, Parlilitan.

7. Teuku Imun yang berasal dari Aceh.

8. Teuku Brahim yang berasal dari Aceh.

9. Ronggur Berutu yang berasal dari Pakpak.

10. Rakit Sikedang yang berasal dari Gayor, Aceh.

11. Renteng Manik, yang berasal dari Pakpak.

12. Sumpat Capah yang berasal dari Pakpak.

13. Haposan yang diduga berasal dari Pusuk, Parlilitan.

14. Ikut Maha yang berasal dari Simbara,Parlilitan.

15. Tuan Nabolas yang berasal dari Pusuk, Parlilitan.

16. Jugul Mungkur yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

17. Pa Gotik Mungkur yang berasal dari Rambung,Tarabintang.

18. Jongkeh Mungkur yang berasal dari Anggota,Tarabintang

19.  Cuba Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

20.  Dukut Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

21. Kutur Nahampun yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

22. Tiba yang berasal dari Toba

23. Opung Sonia Situmorang yang berasal dari Sihorbo, Pakkat.

24. Balno yang di duga berasal dari Pakpak.

25. Tinggal Tumanggor yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.

26.  Mangantar Sitohang yang berasal dari Laemaga, Tarabintang.

27. Jangil Mungkur yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.