Bahasa Kumzari di Oman dan Jejak Hubungannya dengan Bahasa Kurdi
Bahasa Kumzari merupakan salah satu bahasa minoritas di Timur Tengah yang dituturkan terutama di Semenanjung Musandam, Oman. Bahasa ini memiliki jumlah penutur yang relatif kecil, diperkirakan hanya beberapa ribu orang. Keberadaannya menarik perhatian para ahli bahasa karena posisinya yang unik di persimpangan jalur perdagangan, migrasi, dan pengaruh budaya selama berabad-abad.
Dalam kajian linguistik, Kumzari dikategorikan sebagai bahasa dari rumpun Indo-Iran, sehingga memiliki keterkaitan struktural dengan bahasa-bahasa Iranik, termasuk bahasa Kurdi. Beberapa peneliti menemukan adanya kesamaan leksikal maupun fonologis yang menimbulkan dugaan hubungan historis antara Kumzari dan Kurdi. Namun, kesamaan ini belum dapat dianggap sebagai bukti pasti adanya keterhubungan langsung.
Salah satu hipotesis yang berkembang menyebutkan bahwa Kumzari dapat menjadi hasil migrasi kelompok masyarakat berbahasa Kurdi di masa lampau. Migrasi ini diperkirakan membawa unsur-unsur bahasa Iranik yang kemudian bercampur dengan bahasa lokal di Semenanjung Musandam. Proses pencampuran ini diperkuat oleh dominasi bahasa Arab dan kontak dengan bahasa Persia serta Inggris.
Secara linguistik, pengaruh Arab terhadap Kumzari terlihat pada kosakata sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan agama, pemerintahan, dan perdagangan. Hal ini wajar mengingat bahasa Arab menjadi bahasa dominan di Oman. Pengaruh Persia dapat dilacak melalui kosa kata kuno yang berkaitan dengan rumah tangga dan budaya material. Sementara itu, kontak dengan bahasa Inggris terjadi pada masa kolonialisme dan modernisasi.
Analisis komparatif menunjukkan bahwa meski terdapat kemiripan dengan bahasa Kurdi, Kumzari juga memiliki ciri khas yang menjadikannya unik. Struktur gramatikalnya memperlihatkan pola adaptasi dari bahasa Arab, sementara intonasi dan sebagian fonemnya menunjukkan kedekatan dengan rumpun Iranik. Situasi ini menggambarkan dinamika kontak lintas bahasa yang intens di wilayah Teluk.
Namun, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah konkret yang dapat memastikan keterkaitan langsung antara Kumzari dan Kurdi. Para ahli menegaskan bahwa hipotesis tersebut masih dalam tahap awal dan membutuhkan penelitian lebih lanjut, baik melalui linguistik historis, studi arkeologi, maupun kajian antropologis.
Konteks sejarah juga perlu diperhitungkan. Semenanjung Musandam sejak dahulu menjadi wilayah strategis dalam perdagangan maritim antara Teluk Persia, India, dan Timur Tengah. Hal ini membuka peluang terjadinya mobilitas penduduk, termasuk kemungkinan masuknya komunitas berbahasa Kurdi atau kelompok lain dari wilayah Iranik.
Selain aspek linguistik, penelitian tentang Kumzari juga menyinggung kehidupan sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Mayoritas penduduk Kumzar menggantungkan hidup pada laut melalui kegiatan memancing, sementara di sisi lain mereka mempertahankan tradisi agraris sederhana, termasuk produksi susu dan makanan lokal. Aktivitas ini menunjukkan keterikatan erat antara bahasa dan ekologi budaya setempat.
Bahasa Kumzari saat ini berada dalam kondisi terancam punah. Modernisasi, migrasi, dan dominasi bahasa Arab menjadi faktor utama menurunnya jumlah penutur aktif. Generasi muda cenderung lebih fasih berbahasa Arab, sementara penggunaan Kumzari terbatas pada ranah domestik.
Dalam perspektif pelestarian bahasa, Kumzari memerlukan perhatian khusus. Dokumentasi linguistik, pembuatan kamus, dan penelitian filologis menjadi langkah penting untuk mencegah kepunahannya. Upaya ini juga relevan untuk menjawab pertanyaan mengenai asal-usul dan hubungannya dengan bahasa Kurdi.
Diskursus tentang Kumzari mencerminkan betapa bahasa minoritas dapat menyimpan sejarah panjang migrasi dan interaksi budaya. Kajian mendalam berpotensi membuka pemahaman baru mengenai percampuran etnis dan bahasa di kawasan Teluk.
Meskipun keterkaitan dengan Kurdi masih berupa dugaan, studi ini memperlihatkan bagaimana bahasa dapat menjadi penanda sejarah pertemuan peradaban. Kumzari, dalam konteks ini, bukan sekadar bahasa, melainkan arsip hidup yang merekam dinamika kawasan.
Para ahli menilai, penelitian multidisiplin sangat diperlukan. Linguistik historis dapat dipadukan dengan penelitian DNA populasi, studi sejarah perdagangan, dan arkeologi untuk mendapatkan gambaran lebih komprehensif. Hanya dengan pendekatan semacam itu hipotesis mengenai migrasi Kurdi ke Musandam dapat diuji secara ilmiah.
Kehadiran pengaruh Arab, Persia, dan Inggris menambah kompleksitas penelitian ini. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bahasa Kumzari tidak bisa dilihat sebagai warisan tunggal, melainkan hasil interaksi panjang dari berbagai kekuatan budaya.
Dalam jangka panjang, penelitian tentang Kumzari juga menyumbang pada kajian lebih luas mengenai persebaran rumpun bahasa Indo-Iran di kawasan Teluk. Hal ini membuka peluang untuk menghubungkan data linguistik dengan narasi sejarah Asia Barat Daya.
Pelestarian Kumzari tidak hanya penting bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi dunia akademik. Ia menjadi bukti bahwa di tengah dominasi bahasa besar, masih ada bahasa kecil yang menyimpan kisah peradaban.
Kumzari sekaligus menantang pandangan bahwa bahasa minoritas tidak relevan. Justru, bahasa semacam ini sering kali menjadi kunci memahami hubungan antarbudaya yang hilang dari catatan resmi.
Dengan demikian, studi tentang Kumzari tidak berhenti pada persoalan linguistik semata, tetapi juga menyentuh identitas, sejarah, dan masa depan masyarakat penuturnya. Setiap penelitian baru membawa harapan agar bahasa ini tetap hidup di tengah perubahan zaman.
Kesimpulannya, hubungan antara Kumzari dan Kurdi masih berada pada tahap spekulatif. Namun, hipotesis tersebut membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang mobilitas manusia, percampuran bahasa, dan kompleksitas sejarah di kawasan Teluk. Kumzari menjadi saksi bisu perjalanan panjang yang hingga kini masih menunggu untuk diungkap secara ilmiah.