Advertisement

Info Kontak:

Senin, 22 Desember 2025

STC Dikritik, Kegagalan Layanan Publik Yaman Jadi Sorotan


Aden, Yaman — Kegagalan penyelenggaraan sektor publik di ibu kota sementara Yaman Selatan, Aden, memunculkan kritik keras terhadap Southern Transitional Council (STC), meskipun secara hukum tanggung jawab utama berada di tangan Presidential Leadership Council (PLC). Banyak warga dan pengamat menilai STC bertindak seolah-olah menjadi pemerintah de facto di wilayah yang mereka kuasai, sehingga segala kegagalan operasional dan layanan publik yang terlihat di lapangan langsung dikaitkan dengan mereka.

Situasi ini muncul setelah percobaan STC untuk mengumpulkan dukungan publik di Show Square, Khor Maksar, Aden. Upaya ini mencakup penyediaan tenda, makanan, logistik, hingga hiburan berupa band, tarian, dan pertunjukan seni. Namun jumlah pengunjung jauh di bawah harapan, sehingga acara yang dirancang untuk menunjukkan legitimasi politik dan dukungan rakyat berakhir dengan wajah kosong dan kritik sosial yang meluas.

Pakar politik lokal menegaskan bahwa kegagalan tersebut bukan semata karena STC tidak mampu menghibur warga, melainkan karena masyarakat masih mempertanyakan legitimasi dan kapasitas STC sebagai pengelola administrasi publik. STC memang menguasai aparat lokal dan memiliki pengaruh nyata di lapangan, sehingga masyarakat melihat mereka sebagai aktor utama, meskipun PLC adalah pihak yang secara formal memiliki tanggung jawab hukum.

Dalam kasus ini, STC terlihat mengambil peran operasional langsung, mulai dari penyediaan tenda hingga pengaturan logistik acara, sehingga warga menilai kegagalan sebagai akibat tindakan atau keputusan mereka. Analisis ini menunjukkan bahwa di mata publik, efektivitas di lapangan lebih penting daripada status formal, sehingga STC menjadi sasaran kritik meski secara hukum tanggung jawab ada pada PLC.

Fenomena ini berbeda dengan wilayah yang dikuasai SDF di Suriah. Di sana, meski pemerintah de facto mengelola wilayah, setiap kegagalan operasional atau layanan publik biasanya tidak diarahkan ke kelompok lokal semata. Sebab, SDF memiliki struktur pemerintahan yang jelas, integrasi dengan pemerintah pusat Suriah dan lembaga internasional, serta masyarakat lebih memahami peran de facto mereka dibandingkan pemerintahan formal.

Sementara itu, di wilayah Suwayda yang dikuasai milisi Al Hajri dan negara buatannya Jabal Bashan, situasi serupa tidak terjadi. Masyarakat lokal mengetahui bahwa pemerintahan milisi adalah entitas politik yang terbatas, sehingga kritik lebih diarahkan pada sistem keseluruhan daripada individu atau kelompok tertentu. Selain itu, milisi Al Hajri mengatur keamanan dan administrasi secara ketat, sehingga ruang publik untuk menilai layanan publik relatif terbatas.

Kondisi di Aden memperlihatkan bahwa ketika kelompok lokal berperan langsung dalam layanan publik, mereka akan terlihat bertanggung jawab oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan paradoks: STC dikritik karena melakukan sesuatu yang sebenarnya menjadi fungsi PLC. Meski demikian, kritik publik menjadi cerminan dari ekspektasi masyarakat terhadap efektivitas pengelolaan layanan publik di wilayah mereka.

Observasi dari pengamat politik mengatakan bahwa fenomena ini memperlihatkan perbedaan persepsi antara tanggung jawab hukum dan tanggung jawab nyata. Di wilayah yang dikontrol oleh milisi atau de facto authority lain, publik cenderung mengerti batas-batas kapasitas kelompok tersebut. Sementara di Aden, STC hadir sebagai pengelola nyata, sehingga kegagalan apa pun langsung dikaitkan dengan mereka.

Kasus panggung publik di Show Square menunjukkan bahwa meskipun STC menyiapkan berbagai sarana untuk menarik perhatian warga, termasuk hiburan dan logistik lengkap, jumlah warga yang hadir tetap minim. Hal ini menandakan bahwa publik tidak hanya menilai kemampuan penyelenggara acara, tetapi juga legitimasi politik dan kepercayaan terhadap aktor lokal.

Sementara itu, PLC, sebagai pemerintah resmi, tetap memiliki tanggung jawab hukum, tetapi karena tidak terlihat langsung di lapangan, kritik publik terhadap mereka relatif lebih kecil. Hal ini menekankan bahwa persepsi publik sering lebih kuat dibanding tanggung jawab formal dalam konteks politik dan layanan publik.

Pengamat sosial menyatakan bahwa fenomena ini juga terkait dengan komunikasi dan narasi politik. STC memiliki akses langsung ke media lokal dan sosial, sehingga setiap kegiatan yang mereka lakukan terekam publik secara nyata. Ketiadaan kehadiran PLC di level operasional membuat masyarakat lebih mudah menilai keberhasilan atau kegagalan STC daripada PLC.

Di sisi lain, wilayah SDF Suriah memiliki mekanisme koordinasi yang lebih transparan, sehingga masyarakat tahu siapa yang bertanggung jawab untuk layanan tertentu. Hal ini mengurangi kemungkinan individu atau kelompok lokal menjadi sasaran kritik tunggal. Sistem birokrasi yang jelas dan dukungan lembaga internasional membantu masyarakat memahami batas kapasitas pengelola de facto.

Wilayah Suwayda juga berbeda. Pemerintahan Jabal Bashan yang dikontrol milisi Al Hajri menetapkan aturan yang ketat, termasuk pembatasan akses publik terhadap beberapa kegiatan administratif. Dengan kontrol yang lebih kaku, masyarakat tidak menilai layanan publik secara langsung, sehingga kegagalan sektor publik jarang dikritik secara terbuka.

Perbandingan ini menekankan bahwa tingkat transparansi, keterlibatan publik, dan persepsi legitimasi sangat memengaruhi siapa yang dikritik atas kegagalan sektor publik. STC di Aden menjadi sorotan karena mereka terlihat menjalankan peran pemerintahan sehari-hari, sementara PLC tetap berada di tingkat formal.

Kegagalan STC dalam menarik massa ke Show Square juga menyoroti ketidakselarasan antara aspirasi politik dan kemampuan organisasi. Meskipun mereka memiliki sumber daya untuk logistik dan hiburan, kepercayaan publik dan motivasi warga tidak dapat dibeli semata dengan fasilitas fisik.

Beberapa pengamat menilai bahwa kritik publik terhadap STC adalah indikator penting bagi pemerintah selatan untuk mengevaluasi strategi komunikasi politik mereka. Transparansi dalam penyampaian tanggung jawab dan kerja sama yang jelas dengan PLC dapat membantu mengurangi salah tafsir publik.

Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan perlunya pendekatan manajemen sektor publik berbasis persepsi masyarakat. Keberhasilan layanan publik tidak hanya diukur dari penyediaan fasilitas, tetapi juga dari pengakuan dan penerimaan publik terhadap otoritas yang menjalankannya.

Di Aden, kegagalan STC membuka peluang bagi PLC untuk menguatkan koordinasi, mengingat bahwa tanggung jawab formal mereka tetap ada. Penyesuaian strategi komunikasi dan kolaborasi dengan STC dapat meningkatkan efektivitas layanan publik dan mengurangi kritik terhadap aktor lokal.

Sementara itu, di wilayah SDF dan Suwayda, struktur yang lebih jelas dan kontrol yang ketat membuat persepsi publik terhadap aktor lokal lebih stabil. Hal ini mencegah terjadinya fenomena serupa seperti di Aden, di mana aktor lokal langsung disalahkan meskipun tanggung jawab hukum berada pada pemerintah pusat atau PLC.

Kritik terhadap STC di Aden juga mencerminkan dinamika politik yang kompleks, di mana legitimasi formal dan legitimasi operasional sering berbeda. Masyarakat menilai keberhasilan pengelolaan layanan publik berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami langsung, bukan berdasarkan hierarki hukum.

Secara keseluruhan, kasus ini menegaskan bahwa legitimasi politik lokal, persepsi publik, dan kehadiran fisik di lapangan menentukan siapa yang dikritik dalam sektor publik. STC menjadi target utama kritik karena mereka hadir dan beroperasi nyata di masyarakat, sedangkan PLC tetap berada di level formal yang jarang terlihat.

Fenomena ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Yaman Selatan dan kelompok lokal: kegagalan layanan publik akan langsung memengaruhi persepsi legitimasi, terlepas dari siapa yang secara hukum bertanggung jawab. Transparansi, koordinasi, dan komunikasi efektif menjadi kunci untuk mengurangi konflik persepsi di masyarakat.

Kamis, 18 Desember 2025

Riwayat Penghulu Mungkur Lawan Belanda


Sejarah perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Tanah Gayo menyimpan banyak kisah yang belum sepenuhnya dikenal luas. Di balik nama besar tokoh-tokoh Aceh dan Gayo, terdapat figur-figur lokal yang memainkan peran penting dalam mengusir kekuasaan kolonial dari pedalaman Sumatra.

Salah satu sosok yang menonjol adalah Penghulu Mungkur. Namanya jarang muncul dalam buku sejarah arus utama, namun perannya nyata dalam jaringan perlawanan rakyat Gayo terhadap dominasi militer dan ekonomi Belanda pada awal abad ke-20.

Penghulu Mungkur dikenal sebagai pemimpin adat yang memiliki pengaruh kuat di wilayahnya. Sebagai penghulu, ia tidak hanya mengatur urusan masyarakat, tetapi juga menjadi penghubung antara perjuangan bersenjata, nilai adat, dan semangat keagamaan.

Menariknya, Mungkur bukan sekadar nama tokoh lokal. Marga Mungkur tercatat sebagai bagian dari rumpun marga Marbun dalam masyarakat Batak, khususnya yang kini bermukim di wilayah Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Fakta ini membuka perspektif baru tentang keterhubungan sejarah Gayo dan Batak dalam konteks perlawanan kolonial.

Keberadaan Penghulu Mungkur menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Belanda tidak bersifat terisolasi secara etnis. Ia mencerminkan jaringan sosial dan kekerabatan lintas wilayah yang sama-sama tertekan oleh sistem kolonial.

Pada awal abad ke-20, Tanoh Gayo berada dalam tekanan hebat. Belanda tidak hanya membangun pos militer, tetapi juga mengeksploitasi sumber daya alam, terutama getah pinus, dengan memaksa rakyat bekerja tanpa upah yang layak.

Dalam situasi inilah muncul sosok Aman Njerang, pejuang gerilya Gayo yang telah puluhan tahun menjadi momok bagi pasukan Marechaussee atau Marsose. Sejak muda, Aman Njerang telah menyimpan kemarahan terhadap sistem pajak dan penindasan Belanda di jalur perdagangan Gayo.

Aman Njerang tumbuh sebagai pemuda pendiam namun gesit. Ia sering menemani ayahnya berdagang hasil hutan dan ternak ke berbagai wilayah seperti Serbejadi, Langsa, hingga Meulaboh, perjalanan panjang yang membuka matanya pada ketidakadilan kolonial.

Kemarahan Aman Njerang memuncak ketika mendengar pembantaian besar-besaran terhadap orang Gayo oleh pasukan Van Daalen. Peristiwa itu menjadi titik balik yang mengobarkan semangat jihad dan perlawanan bersenjata.

Sejak 1902, Aman Njerang memilih hidup mengembara di hutan belantara Gayo. Ia menyerang pos-pos Belanda, mengganggu jalur logistik, dan membersihkan jalur perdagangan agar rakyat Gayo dapat berdagang tanpa pungutan dan perampasan.

Pada pertengahan 1916, ketegangan meningkat akibat perlakuan tidak adil terhadap penderes getah pinus di wilayah Bintang dan Linge. Belanda memaksa kerja rodi, sementara ratusan orang jatuh sakit dan meninggal akibat malaria dan kelelahan.

Dalam kondisi inilah Aman Njerang mengutus Aman Rasum untuk menemui Penghulu Mungkur. Pertemuan ini menjadi salah satu momen penting dalam sejarah perlawanan Gayo, karena menyatukan dua kekuatan lokal yang selama ini bergerak sendiri-sendiri.

Penghulu Mungkur menyambut ajakan tersebut. Sebagai pemimpin adat, ia memahami bahwa perlawanan bukan hanya soal senjata, tetapi juga mempertahankan martabat dan hak hidup masyarakatnya.

Kesepakatan pun tercapai untuk menyerang Bivak Jamat, salah satu basis penting Belanda. Persiapan dilakukan secara rahasia, bahkan melibatkan seorang ulama perempuan dari Weh Dusun, yang menunjukkan luasnya dukungan rakyat terhadap perlawanan ini.

Pada awal Agustus 1916, pasukan gabungan bergerak senyap. Pasukan Aman Njerang, Penghulu Mungkur, dan kelompok ulama perempuan berhasil melumpuhkan Bivak Jamat tanpa perlawanan berarti, sebuah pukulan telak bagi Belanda.

Kabar runtuhnya Bivak Jamat segera sampai ke Takengon. Belanda merespons dengan mengirim pasukan Marsose bersenjata lengkap untuk mengejar dan memukul balik para pejuang.

Namun, pada 9 hingga 10 Agustus 1916, terjadi peristiwa yang kemudian dikenang sebagai Kisah Serule. Selama dua hari dua malam, pasukan Marsose dipukul mundur oleh pasukan Aman Njerang dan sekutunya.

Peristiwa ini mempermalukan Belanda. Pasukan elit kolonial yang selama ini ditakuti justru gagal menembus perlawanan rakyat yang bersenjatakan tekad dan pengetahuan medan.

Peran Penghulu Mungkur dalam peristiwa ini menegaskan bahwa ia bukan hanya tokoh adat, tetapi juga pahlawan perlawanan. Fakta bahwa marga Mungkur kini dikenal dalam rumpun marga Marbun, memperkaya narasi sejarah lintas etnis di Sumatra.

Kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan Belanda adalah perjuangan bersama, melampaui batas suku dan wilayah. Tanoh Gayo menjadi panggung perlawanan rakyat yang disatukan oleh penderitaan yang sama.

Hingga kini, nama Aman Njerang dan Penghulu Mungkur masih hidup dalam ingatan lokal, meski belum sepenuhnya mendapat tempat dalam sejarah nasional. Kisah mereka adalah pengingat bahwa banyak pahlawan lahir dari pedalaman, berjuang tanpa pamrih, dan meninggalkan jejak keberanian yang patut dikenang.


Catatan, di Makam Panglima Sisingamangaraja XII Tarabintang, juga terdapat nama-nama dengan marga Mungkur, berikut di antara namanya. Sebagian berasal dari Aceh.

Inilah nama-nama 37 Panglima Raja Sisingamangaraja XII  yang tewas di bunuh Belanda ;

1. Manase Simorangkir, Komandan Perang yang berasal dari Tarutung.

2. Pangulima Jonggak yang berasal dari Aceh.

3. Rior Purba yang berasal dari Bakara.

4. Jommel yang mungkin berasal dari Pakpak.

5. Lengkap yang berasal dari Pakpak.

6. Ranggit  Tinambunan yang berasal dari Kasturi, Parlilitan.

7. Teuku Imun yang berasal dari Aceh.

8. Teuku Brahim yang berasal dari Aceh.

9. Ronggur Berutu yang berasal dari Pakpak.

10. Rakit Sikedang yang berasal dari Gayor, Aceh.

11. Renteng Manik, yang berasal dari Pakpak.

12. Sumpat Capah yang berasal dari Pakpak.

13. Haposan yang diduga berasal dari Pusuk, Parlilitan.

14. Ikut Maha yang berasal dari Simbara,Parlilitan.

15. Tuan Nabolas yang berasal dari Pusuk, Parlilitan.

16. Jugul Mungkur yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

17. Pa Gotik Mungkur yang berasal dari Rambung,Tarabintang.

18. Jongkeh Mungkur yang berasal dari Anggota,Tarabintang

19.  Cuba Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

20.  Dukut Sihotang yang berasal dari Huta Imbau,Tarabintang.

21. Kutur Nahampun yang berasal dari Laemaga,Tarabintang.

22. Tiba yang berasal dari Toba

23. Opung Sonia Situmorang yang berasal dari Sihorbo, Pakkat.

24. Balno yang di duga berasal dari Pakpak.

25. Tinggal Tumanggor yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.

26.  Mangantar Sitohang yang berasal dari Laemaga, Tarabintang.

27. Jangil Mungkur yang berasal dari Anggocti, Tarabintang.

Kamis, 25 September 2025

Bahasa Kumzari di Oman dan Jejak Hubungannya dengan Bahasa Kurdi

Bahasa Kumzari merupakan salah satu bahasa minoritas di Timur Tengah yang dituturkan terutama di Semenanjung Musandam, Oman. Bahasa ini memiliki jumlah penutur yang relatif kecil, diperkirakan hanya beberapa ribu orang. Keberadaannya menarik perhatian para ahli bahasa karena posisinya yang unik di persimpangan jalur perdagangan, migrasi, dan pengaruh budaya selama berabad-abad.

Dalam kajian linguistik, Kumzari dikategorikan sebagai bahasa dari rumpun Indo-Iran, sehingga memiliki keterkaitan struktural dengan bahasa-bahasa Iranik, termasuk bahasa Kurdi. Beberapa peneliti menemukan adanya kesamaan leksikal maupun fonologis yang menimbulkan dugaan hubungan historis antara Kumzari dan Kurdi. Namun, kesamaan ini belum dapat dianggap sebagai bukti pasti adanya keterhubungan langsung.

Salah satu hipotesis yang berkembang menyebutkan bahwa Kumzari dapat menjadi hasil migrasi kelompok masyarakat berbahasa Kurdi di masa lampau. Migrasi ini diperkirakan membawa unsur-unsur bahasa Iranik yang kemudian bercampur dengan bahasa lokal di Semenanjung Musandam. Proses pencampuran ini diperkuat oleh dominasi bahasa Arab dan kontak dengan bahasa Persia serta Inggris.

Secara linguistik, pengaruh Arab terhadap Kumzari terlihat pada kosakata sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan agama, pemerintahan, dan perdagangan. Hal ini wajar mengingat bahasa Arab menjadi bahasa dominan di Oman. Pengaruh Persia dapat dilacak melalui kosa kata kuno yang berkaitan dengan rumah tangga dan budaya material. Sementara itu, kontak dengan bahasa Inggris terjadi pada masa kolonialisme dan modernisasi.

Analisis komparatif menunjukkan bahwa meski terdapat kemiripan dengan bahasa Kurdi, Kumzari juga memiliki ciri khas yang menjadikannya unik. Struktur gramatikalnya memperlihatkan pola adaptasi dari bahasa Arab, sementara intonasi dan sebagian fonemnya menunjukkan kedekatan dengan rumpun Iranik. Situasi ini menggambarkan dinamika kontak lintas bahasa yang intens di wilayah Teluk.

Namun, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah konkret yang dapat memastikan keterkaitan langsung antara Kumzari dan Kurdi. Para ahli menegaskan bahwa hipotesis tersebut masih dalam tahap awal dan membutuhkan penelitian lebih lanjut, baik melalui linguistik historis, studi arkeologi, maupun kajian antropologis.

Konteks sejarah juga perlu diperhitungkan. Semenanjung Musandam sejak dahulu menjadi wilayah strategis dalam perdagangan maritim antara Teluk Persia, India, dan Timur Tengah. Hal ini membuka peluang terjadinya mobilitas penduduk, termasuk kemungkinan masuknya komunitas berbahasa Kurdi atau kelompok lain dari wilayah Iranik.

Selain aspek linguistik, penelitian tentang Kumzari juga menyinggung kehidupan sosial dan budaya masyarakat penuturnya. Mayoritas penduduk Kumzar menggantungkan hidup pada laut melalui kegiatan memancing, sementara di sisi lain mereka mempertahankan tradisi agraris sederhana, termasuk produksi susu dan makanan lokal. Aktivitas ini menunjukkan keterikatan erat antara bahasa dan ekologi budaya setempat.

Bahasa Kumzari saat ini berada dalam kondisi terancam punah. Modernisasi, migrasi, dan dominasi bahasa Arab menjadi faktor utama menurunnya jumlah penutur aktif. Generasi muda cenderung lebih fasih berbahasa Arab, sementara penggunaan Kumzari terbatas pada ranah domestik.

Dalam perspektif pelestarian bahasa, Kumzari memerlukan perhatian khusus. Dokumentasi linguistik, pembuatan kamus, dan penelitian filologis menjadi langkah penting untuk mencegah kepunahannya. Upaya ini juga relevan untuk menjawab pertanyaan mengenai asal-usul dan hubungannya dengan bahasa Kurdi.

Diskursus tentang Kumzari mencerminkan betapa bahasa minoritas dapat menyimpan sejarah panjang migrasi dan interaksi budaya. Kajian mendalam berpotensi membuka pemahaman baru mengenai percampuran etnis dan bahasa di kawasan Teluk.

Meskipun keterkaitan dengan Kurdi masih berupa dugaan, studi ini memperlihatkan bagaimana bahasa dapat menjadi penanda sejarah pertemuan peradaban. Kumzari, dalam konteks ini, bukan sekadar bahasa, melainkan arsip hidup yang merekam dinamika kawasan.

Para ahli menilai, penelitian multidisiplin sangat diperlukan. Linguistik historis dapat dipadukan dengan penelitian DNA populasi, studi sejarah perdagangan, dan arkeologi untuk mendapatkan gambaran lebih komprehensif. Hanya dengan pendekatan semacam itu hipotesis mengenai migrasi Kurdi ke Musandam dapat diuji secara ilmiah.

Kehadiran pengaruh Arab, Persia, dan Inggris menambah kompleksitas penelitian ini. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa bahasa Kumzari tidak bisa dilihat sebagai warisan tunggal, melainkan hasil interaksi panjang dari berbagai kekuatan budaya.

Dalam jangka panjang, penelitian tentang Kumzari juga menyumbang pada kajian lebih luas mengenai persebaran rumpun bahasa Indo-Iran di kawasan Teluk. Hal ini membuka peluang untuk menghubungkan data linguistik dengan narasi sejarah Asia Barat Daya.

Pelestarian Kumzari tidak hanya penting bagi masyarakat lokal, tetapi juga bagi dunia akademik. Ia menjadi bukti bahwa di tengah dominasi bahasa besar, masih ada bahasa kecil yang menyimpan kisah peradaban.

Kumzari sekaligus menantang pandangan bahwa bahasa minoritas tidak relevan. Justru, bahasa semacam ini sering kali menjadi kunci memahami hubungan antarbudaya yang hilang dari catatan resmi.

Dengan demikian, studi tentang Kumzari tidak berhenti pada persoalan linguistik semata, tetapi juga menyentuh identitas, sejarah, dan masa depan masyarakat penuturnya. Setiap penelitian baru membawa harapan agar bahasa ini tetap hidup di tengah perubahan zaman.

Kesimpulannya, hubungan antara Kumzari dan Kurdi masih berada pada tahap spekulatif. Namun, hipotesis tersebut membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang mobilitas manusia, percampuran bahasa, dan kompleksitas sejarah di kawasan Teluk. Kumzari menjadi saksi bisu perjalanan panjang yang hingga kini masih menunggu untuk diungkap secara ilmiah.

Kamis, 26 Juni 2025

Mengapa Isu Rohingya Kalah Sorotan dari Gaza


Meski sama-sama menjadi korban kekerasan sistematis, tragedi kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar tak mendapatkan sorotan seintensif konflik di Gaza. Padahal, krisis Rohingya telah berlangsung jauh lebih lama, dengan dampak pengungsian dan genosida yang terus berlanjut hingga kini. Situasi memilukan di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh pun nyaris tak lagi menjadi headline media internasional.

Salah satu alasan utama perbedaan eksposur ini adalah faktor geopolitik. Palestina, sejak lama menjadi isu global yang melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Iran, Uni Eropa, hingga Liga Arab. Setiap ketegangan di Gaza selalu memantik sikap diplomatik berbagai negara, baik sekutu maupun rival Israel. Sedangkan Rohingya, posisinya terperangkap di antara negara-negara Asia Tenggara yang cenderung menghindari isu internal negara tetangga.

Selain itu, hubungan erat Myanmar dengan China turut mempersulit desakan internasional. Beijing memiliki kepentingan strategis dan ekonomi di Rakhine State, tempat Rohingya terusir. Proyek pelabuhan dan pipa gas Myanmar-China membuat negara itu sulit ditekan soal isu kemanusiaan. Berbeda dengan Palestina yang secara langsung bersentuhan dengan proyek geopolitik di Timur Tengah yang lebih terbuka.

Di sisi lain, media internasional juga cenderung lebih aktif meliput isu-isu yang berdampak langsung terhadap kebijakan luar negeri Barat. Gaza dinilai berdampak terhadap keamanan Eropa dan Amerika, sementara Rohingya dianggap isu regional semata. Hal ini diperparah dengan lemahnya diplomasi negara-negara ASEAN dalam mengangkat isu Rohingya ke forum internasional.

Faktor penting lainnya adalah narasi solidaritas keagamaan yang lebih mengakar pada isu Gaza. Palestina kerap dijadikan simbol perjuangan umat Muslim global, dengan berbagai demonstrasi besar di kota-kota Eropa dan Timur Tengah. Sebaliknya, meskipun Rohingya juga mayoritas Muslim, mereka kurang mendapat mobilisasi solidaritas berskala global. Narasi penderitaan Rohingya kerap dibatasi pada isu kemanusiaan murni tanpa sentuhan politis.

Konflik di Gaza juga diiringi visual yang dramatis, tayangan serangan udara, korban sipil, dan reruntuhan gedung di tengah kota modern yang disiarkan langsung. Sedangkan tragedi Rohingya lebih banyak terjadi di pedalaman, di kamp-kamp pengungsian, atau desa-desa kecil yang sulit dijangkau kamera media global. Ini membuat liputan terhadap Rohingya lebih sporadis dan kehilangan daya pikat visual di layar kaca.

Ketiadaan aktor politik global yang serius memperjuangkan Rohingya menjadi kendala lainnya. Palestina memiliki berbagai utusan, perwakilan, dan lobi kuat di PBB maupun Uni Eropa. Sementara Rohingya hanya mengandalkan sejumlah aktivis diaspora tanpa kekuatan politik besar. Bahkan hingga kini, tak ada perwakilan resmi Rohingya di forum ASEAN atau OKI yang dapat berbicara setara dengan negara-negara anggota.

Situasi politik internal Myanmar yang kompleks juga membuat pemberitaan isu Rohingya tak kunjung tuntas. Pasca kudeta militer, perhatian dunia lebih fokus pada perlawanan sipil anti-junta ketimbang penderitaan Rohingya. Apalagi kelompok etnis bersenjata seperti Arakan Army yang kini menguasai Rakhine pun tak berpihak pada Rohingya. Hal ini membuat konflik Rohingya terus terpinggirkan dari diskursus global.

Isu Rohingya juga kalah dalam persaingan perhatian donor kemanusiaan. Dana-dana besar lebih banyak mengalir ke Palestina, Ukraina, atau Sudan. Sejak 2023, anggaran bantuan untuk kamp Rohingya di Cox’s Bazar dipotong lebih dari separuh. Akibatnya, krisis gizi, pendidikan, dan layanan kesehatan memburuk tanpa liputan memadai dari media internasional.

Stigma terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh dan Asia Tenggara turut memperburuk keadaan. Di banyak negara, Rohingya dipandang sebagai beban sosial dan ancaman keamanan. Sikap inilah yang membuat media lokal pun enggan terlalu intens mengangkat penderitaan mereka, khawatir menuai reaksi negatif dari publik.

Dr Ambia Parveen dari European Rohingya Council menyebut krisis Rohingya kini seolah menjadi "isu Palestina-nya Asia", yakni tragedi panjang yang dibiarkan membusuk tanpa solusi nyata. Ia mengkritik sikap dunia yang hanya mengirimkan pernyataan tanpa tindakan konkret. Bahkan PBB dan negara-negara besar dinilai tak sungguh-sungguh mendorong repatriasi Rohingya ke Myanmar.

Sebagian pengamat berpendapat, selama tidak ada perubahan signifikan di dalam Myanmar, isu Rohingya akan tetap menjadi "konflik sunyi". Media internasional pun lebih tertarik memberitakan konflik bersenjata langsung atau serangan udara ketimbang penderitaan di kamp pengungsi. Hal ini diperparah dengan sulitnya akses jurnalis ke wilayah Rakhine yang dikontrol ketat militer dan Arakan Army.

Solidaritas dunia Islam terhadap Rohingya pun dinilai minim. Beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia memang bersuara, tapi hanya sebatas retorika diplomatik tanpa tekanan politik. Organisasi OKI pun lebih sering mengeluarkan pernyataan kecaman ketimbang langkah konkret. Dibanding Gaza, Rohingya jelas kalah dalam hal mobilisasi solidaritas lintas negara Muslim.

Di Eropa dan Amerika, isu Gaza kerap berkaitan langsung dengan politik domestik dan hubungan dengan komunitas Yahudi maupun Arab. Sementara isu Rohingya tak memiliki bobot politik serupa. Hal ini membuat politisi Barat jarang menjadikan Rohingya sebagai agenda kampanye atau kepentingan politik luar negeri mereka.

Konflik Rohingya yang dianggap internal Myanmar membuat banyak negara memilih pendekatan hati-hati. Mereka enggan mengecam terlalu keras karena khawatir merusak hubungan dagang dan investasi. Berbeda dengan Palestina yang sejak awal telah menjadi isu global yang tidak bisa diabaikan oleh kekuatan Barat.

Kampanye media sosial soal Gaza juga jauh lebih masif. Tagar-tagar soal Palestina rutin trending secara global, sementara kampanye online untuk Rohingya jarang bertahan lama. Minimnya dukungan dari selebritas internasional atau tokoh publik dunia juga membuat isu Rohingya tenggelam di jagat media sosial.

Berbagai pihak menyebut jika ingin Rohingya mendapat perhatian setara dengan Gaza, dibutuhkan kerja kolektif, diplomasi agresif, dan solidaritas lintas negara. Tanpa itu, tragedi kemanusiaan yang dialami Rohingya akan terus menjadi isu regional tanpa suara di panggung dunia.

Krisis Rohingya sejatinya bukan sekadar masalah kemanusiaan, tapi juga soal politik identitas, hak kewarganegaraan, dan keadilan sejarah. Jika dunia terus abai, dikhawatirkan genosida terhadap etnis ini akan terus berulang tanpa pernah ada pertanggungjawaban.

Selama media internasional belum menjadikan Rohingya sebagai headline rutin, dunia seakan membiarkan sejarah kejam ini terus berjalan di balik bayang-bayang Gaza. Sebuah ironi pahit dari selektivitas perhatian global terhadap tragedi kemanusiaan.

Minggu, 13 April 2025

Sejarah Perbankan di Tapanuli dan Sekitarnya

Lembaga keuangan di wilayah Tapanoeli pada masa lampau memperlihatkan corak yang unik, terutama dalam menghadapi kebutuhan pendanaan. Untuk keperluan dana yang relatif kecil, masyarakat setempat lebih mengandalkan sokongan dari lingkaran keluarga dan jalinan hubungan kekerabatan yang erat. Namun, ketika berhadapan dengan kebutuhan dana yang lebih besar, pilihan yang tersedia adalah langsung ke bank-bank yang umumnya didirikan oleh pihak swasta atau oleh pemerintah kolonial. Sebuah fenomena menarik muncul di Sumatra Timur, di mana justru lahir sebuah bank yang secara spesifik didirikan oleh putra daerah Tapanoeli.

Inisiatif pendirian bank oleh orang Tapanoeli di Sumatra Timur ini muncul sebagai respons terhadap sulitnya akses yang dihadapi oleh para pengusaha pribumi. Mereka merasakan adanya jurang pemisah dalam layanan keuangan jika dibandingkan dengan pengusaha Eropa/Belanda yang dilayani oleh bank-bank besar seperti Bank Java, serta pengusaha Tionghoa yang memiliki Bank Kesawan sebagai institusi keuangan andalan mereka. Keterbatasan akses ini menjadi pemicu bagi kalangan terpelajar dan pengusaha pribumi asal Tapanoeli untuk mengambil langkah proaktif.

Dalam catatan sejarah yang tertuang dalam surat kabar De Telegraaf edisi 28 Desember 1920, terungkap bagaimana situasi ketidakadilan dalam layanan perbankan mendorong munculnya gagasan untuk mendirikan bank sendiri. Di tengah dominasi bank-bank Eropa dan Tionghoa, kebutuhan akan lembaga keuangan yang berpihak pada kepentingan pribumi semakin mendesak. Ide pendirian bank ini kemudian mengerucut pada sebuah rencana konkret di Pematang Siantara pada tahun 1920.

Bank yang akhirnya berdiri di Pematang Siantara tersebut merupakan buah pemikiran dan kerja keras sejumlah tokoh terkemuka yang berasal dari Padang Sidempoean. Para tokoh ini, yang sebagian besar merantau ke Pematang Siantara, memiliki visi untuk menciptakan sebuah lembaga keuangan yang dapat memberdayakan perekonomian masyarakat pribumi. Bank yang didirikan dengan semangat kemandirian dan nasionalisme ekonomi ini kemudian diberi nama Bataksche Bank.

Bataksche Bank mencatatkan diri sebagai bank swasta pribumi profesional pertama yang berhasil berdiri dan bertahan cukup lama, bahkan hingga berakhirnya era kolonial Belanda di Indonesia. Keberadaan bank ini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi ekonomi asing dan representasi dari semangat kewirausahaan masyarakat pribumi, khususnya dari Tapanuli. Bank ini tidak hanya berfungsi sebagai penyalur dana, tetapi juga sebagai wadah untuk membangun jaringan ekonomi antar pengusaha pribumi.

Adapun tokoh-tokoh penting yang menjadi motor penggerak pendirian Bataksche Bank adalah Dr. Alimoesa Harahap, Dr. Muhamad Hamzah Harahap, Soetan Pane Paroehoem, dan Soetan Hasoendoetan. Keempat tokoh ini memiliki latar belakang pendidikan dan sosial yang kuat, serta kesadaran akan pentingnya kemandirian ekonomi bagi masyarakat pribumi. Mereka bahu-membahu mewujudkan impian untuk memiliki lembaga keuangan sendiri yang dapat melayani kebutuhan masyarakat Tapanuli dan sekitarnya.

Untuk menjaga keberlangsungan dan kredibilitas Bataksche Bank sebagai bank swasta pribumi, salah satu pendirinya, Hasan Harahap yang bergelar Soetan Pane Paroehoem, mengambil inisiatif penting. Beliau memutuskan untuk mengikuti kursus dan menempuh ujian notaris di Batavia (Jakarta). Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa bank memiliki landasan hukum yang kuat dan dapat beroperasi secara profesional sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Usaha keras Soetan Pane Paroehoem membuahkan hasil gemilang. Pada tahun 1927, beliau berhasil lulus ujian notaris kelas satu, sebagaimana yang diberitakan oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie pada tanggal 22 Agustus 1927. Keberhasilan ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi Bataksche Bank, tetapi juga bagi seluruh masyarakat pribumi, karena Soetan Pane Paroehoem tercatat sebagai notaris pertama dari kalangan pribumi di Sumatra.

Keberadaan seorang notaris pribumi yang juga merupakan salah satu pendiri bank memberikan legitimasi dan kepercayaan yang lebih besar kepada Bataksche Bank. Hal ini menunjukkan keseriusan dan profesionalisme para pendiri dalam mengelola lembaga keuangan tersebut. Bataksche Bank kemudian tumbuh dan berkembang menjadi salah satu pilar ekonomi bagi masyarakat pribumi di Sumatra Timur.

Seiring dengan perkembangan Bataksche Bank di Sumatra Timur, perkembangan perbankan di wilayah Tapanoeli sendiri berjalan lebih lambat. Baru pada tahun 1925 muncul Volksbank di Sibolga.

Pendirian bank rakyat ini erat kaitannya dengan perkembangan sektor perkebunan yang semakin pesat di wilayah Tapanoeli.

Sebagaimana yang tercatat dalam surat kabar De Sumatra post edisi 17 Juli 1925, perkembangan perkebunan karet menjadi salah satu faktor pendorong munculnya kebutuhan akan lembaga keuangan yang lebih dekat dengan masyarakat.

Perkebunan-perkebunan karet tumbuh subur di sepanjang jalan poros Sibolga-Padang Sidempoean, terutama di wilayah Batangtoroe.

Volksbank hadir sebagai respons terhadap kebutuhan para petani dan pengusaha kecil di sektor perkebunan. Bank rakyat ini diharapkan dapat memberikan akses permodalan yang lebih mudah dan terjangkau bagi masyarakat Tapanoeli, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Keberadaan Volksbank menandai babak baru dalam sejarah perbankan di wilayah tersebut, meskipun skalanya masih relatif kecil dibandingkan dengan Bataksche Bank di Sumatra Timur.


Perbedaan waktu munculnya lembaga perbankan antara Tapanoeli dan Sumatra Timur menunjukkan dinamika ekonomi dan sosial yang berbeda di kedua wilayah tersebut. Sumatra Timur, dengan perkembangan perkebunan yang lebih awal dan adanya interaksi dengan pusat-pusat perdagangan yang lebih besar, memicu kebutuhan akan lembaga keuangan yang lebih profesional dan terorganisir. Sementara itu, di Tapanoeli, pola keuangan tradisional masih cukup dominan hingga munculnya sektor perkebunan yang signifikan.

Kisah tentang Bataksche Bank dan Volksbank memberikan gambaran yang menarik tentang bagaimana inisiatif lokal muncul sebagai respons terhadap kebutuhan dan keterbatasan akses terhadap layanan keuangan. Kedua bank ini, meskipun memiliki skala dan fokus yang berbeda, memiliki peran penting dalam sejarah perekonomian masyarakat Tapanuli dan sekitarnya. Bataksche Bank menjadi simbol kemandirian dan profesionalisme, sementara Volksbank menjadi representasi dari upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat.

Sejarah perbankan di Tapanoeli dan Sumatra Timur pada masa kolonial memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya akses terhadap layanan keuangan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pribumi. Keterbatasan akses yang dirasakan oleh para pengusaha dan petani mendorong munculnya inisiatif untuk mendirikan lembaga keuangan sendiri, yang pada gilirannya berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal dan nasional.

Kisah sukses Bataksche Bank juga menjadi inspirasi bagi gerakan kemandirian ekonomi di kalangan masyarakat pribumi pada masa itu. Bank ini membuktikan bahwa dengan semangat persatuan dan profesionalisme, masyarakat pribumi mampu mendirikan dan mengelola lembaga keuangan yang dapat bersaing dengan bank-bank asing.

Hingga kini, jejak sejarah perbankan di Tapanuli dan Sumatra Timur masih dapat dirasakan. Semangat kemandirian dan inisiatif lokal yang ditunjukkan oleh para pendiri Bataksche Bank dan Volksbank menjadi warisan yang berharga bagi perkembangan sektor keuangan di Indonesia. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya inklusi keuangan dan akses yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sejarah mencatat bahwa keterbatasan seringkali menjadi pemicu inovasi dan kemandirian. Begitu pula dengan sejarah perbankan di Tapanuli, di mana keterbatasan akses justru melahirkan inisiatif berani untuk mendirikan lembaga keuangan sendiri. Kisah ini adalah bagian penting dari narasi perjuangan ekonomi masyarakat Indonesia di masa kolonial.

Melalui kisah Bataksche Bank dan Volksbank, kita dapat memahami bagaimana konteks sosial, ekonomi, dan politik pada masa itu memengaruhi perkembangan sektor keuangan di berbagai daerah di Indonesia. Inisiatif lokal seperti pendirian bank oleh masyarakat Tapanuli menjadi bukti dari semangat kewirausahaan dan keinginan untuk berdaya secara ekonomi.

Warisan dari Bataksche Bank dan Volksbank terus hidup dalam semangat kewirausahaan dan kemandirian ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Kisah ini menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk inisiatif-inisiatif yang muncul dari tingkat lokal.

Mesti Dipisah, Jejak Minangkabau di Tanah Batak tak Bisa Dihapus Begitu Saja


SILINDUNG – Di tengah lanskap perbukitan dan danau yang memesona di Toba, tersimpan kisah panjang yang tak hanya menyoal asal-usul geografis, tetapi juga pergulatan identitas budaya dan politik. Kisah lama yang menghubungkan suku Batak dengan Minangkabau bukan sekadar legenda, melainkan cerminan dari interaksi kultural yang mendalam, bahkan hingga ke ranah kekuasaan.

Diceritakan bahwa para penduduk awal menetap di timur Danau Toba karena pesona alamnya. Ketika populasi meningkat, mereka menyebar ke wilayah Silindung, lalu ke utara hingga Dairi dan ke selatan hingga Angkola. Penyebaran ini lambat laun membawa penduduk Batak bersinggungan dengan pengaruh Minangkabau yang kala itu dikenal sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan di Sumatera.

Cerita rakyat mencatat bahwa Sultan Minangkabau, yang dianggap keturunan Iskandar Agung, pernah melakukan perjalanan keliling Sumatera dan menunjuk para pemimpin lokal, termasuk untuk wilayah Batak. Ia pun memberikan tanda warisan: noda hitam di bawah lidah sebagai penanda pemimpin sejati Batak di masa depan. Petunjuk itu menjadi bagian dari narasi sakral yang bertahan turun-temurun.

Menariknya, kepala daerah Silindung menyebut bahwa hingga kini Sultan Minangkabau tetap dihormati lebih tinggi dari para kepala suku Batak. Perintah dari Sultan, walau sederhana, diyakini akan segera dilaksanakan dengan penuh patuh oleh masyarakat. Kisah ini memperlihatkan sebuah bentuk ketundukan simbolik yang melampaui ikatan politik biasa.

Namun sejarah tak berhenti sebagai mitos. Tulisan Sanusi Pane tahun 1926 membuka babak baru bagaimana suku Batak mulai menegaskan identitasnya. Dalam karyanya yang berjudul “Anak Muda Batak di Antara Internasionalisme dan Nasionalisme,” Sanusi mencatat bagaimana pemuda Batak mulai melepaskan diri dari dominasi identitas Minangkabau dalam ranah politik kebangsaan.

Kala itu, Jong Sumatranen Bond (JSB) didominasi oleh pemuda Minang, namun anak muda Batak kemudian membentuk Jong Bataks Bond (JBB). Organisasi ini menjadi simbol lahirnya kesadaran politik dan budaya yang berdiri sendiri, terpisah dari bayang-bayang dominasi Minang. Ini bukan hanya tentang identitas etnis, tapi tentang cita-cita nasionalisme dan kemerdekaan yang lebih luas.

Sanusi menyebut bahwa pemuda Batak dan Mandailing masih seperti ladang yang belum digarap. Ia mengingatkan pentingnya memilih bibit yang tepat—ide, visi, dan semangat—karena apapun yang ditanam di ladang subur itu pasti akan tumbuh. Sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul para pemuda pada masa itu.

Ia menegaskan bahwa mata rakyat telah tertuju pada kaum muda. Rakyat belum terbawa arus zaman, dan di sanalah peran pemuda sebagai penjaga gerbang masa depan tanah air dipertaruhkan. Sanusi percaya, kebudayaan Batak yang seolah tertidur itu sejatinya tersembunyi di kedalaman jiwa rakyat, hanya menunggu disentuh dan dibangkitkan.

Konsepsi nasionalisme yang diangkat Sanusi bukan semata-mata tentang politik formal, tetapi tentang membangkitkan kembali roh kebudayaan yang otentik. Ia memandang kebudayaan Batak sebagai kekuatan tersembunyi yang siap berkembang jika disentuh dengan tepat. Sebuah pandangan visioner tentang pentingnya budaya sebagai fondasi kebangsaan.

Persimpangan antara legenda dan gerakan politik ini menjadikan sejarah Batak begitu kompleks. Di satu sisi, ada pengaruh mendalam Minangkabau melalui cerita-cerita luhur. Di sisi lain, muncul semangat perlawanan halus dalam bentuk artikulasi identitas yang mandiri oleh pemuda-pemuda Batak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menjadi bangsa tidak pernah linier. Ia diwarnai tarik-menarik antara identitas kolektif yang lebih besar dan identitas lokal yang ingin didengar dan diakui. Jong Bataks Bond adalah simbol dari tekad tersebut—membangun Indonesia dari akar, bukan hanya dari pusat.

Cerita tentang tanda hitam di bawah lidah kini menjadi bagian dari folklore, tapi semangatnya hidup dalam perjuangan pemuda Batak era 1920-an yang ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri sejajar. Tidak lagi sebagai pelengkap dalam cerita besar, melainkan sebagai aktor utama dalam sejarah Indonesia.

Hubungan antara Batak dan Minangkabau tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang migrasi, pertukaran budaya, hingga kerjasama dan ketegangan. Namun yang muncul dari semua itu adalah dinamika yang memperkaya identitas Indonesia—satu bangsa, tapi dengan banyak wajah yang saling bersinggungan.

Cerita ini juga menyiratkan bahwa sejarah kita dibangun bukan hanya oleh senjata dan perjanjian politik, tapi juga oleh cerita, gagasan, dan semangat para pemuda yang percaya pada masa depan. Semangat yang diwariskan Sanusi Pane masih relevan: bahwa nasionalisme dimulai dari keberanian untuk mengenal dan menyuarakan jati diri.

Hari ini, jejak cerita antara Batak dan Minangkabau tetap hidup, baik dalam narasi rakyat maupun dalam penggalan sejarah yang kini dikaji ulang. Ini bukan sekadar sejarah lokal, tetapi bagian penting dari pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar karena keberagamannya.

Dari tepian Danau Toba hingga podium-podium pergerakan nasional, narasi Batak terus berkembang. Dari legenda noda lidah hingga gema suara Sanusi Pane, sejarah ini adalah milik kita semua: cermin dari keberanian untuk menjadi diri sendiri dalam jalan menuju Indonesia.

Selasa, 04 April 2023

Informasi yang Menceritakan Kedatangan Sahabat Nabi Muhammad SAW ke Nusantara di Masa Lalu

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan tentang wilayah dakwah Nabi Muhammad Saw:

[ وَماَ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ – [ الأنبياء: 107

“Dan Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Strategi dakwah Islam Rahmatal Lil ‘Alamin yang dipimpin oleh Rasulullah Saw, dibuktikan oleh catatan sejarah berikut ini (disesuaikan dengan Geografi Negara saat ini):

A.  ASIA TENGGARA

1. Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia, tahun 625 Masehi. Perjalanan dakwahnya dilanjutkan ke dari Indonesia ke kawasan Nusantara, melalui: Timur Leste, Brunai Darussalam, Sulu, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Kampuchea. (Sumber: H.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Bulan Bintang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

2. Ja’far bin Abi Thalib, berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia,sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.33)
Ubay bin Ka’ab, berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.35).

3. Abdullah bin Mas’ud, berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay Archipelago).

4. ‘Abdurrahman bin Mu’adz bin Jabal, dan putera-puteranya Mahmud dan Isma’il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. sekitar tahun 625 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.38).

5. Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah Wafat, ia kembali ke Madinah. sekitar tahun 623 M/ 2 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968)
Salman Al-Farisi, berdakwah Ke Perlak, Aceh Timur dan Kembali Ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39)

B.. ASIA BARAT

1. Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Kawasan Asia Barat meliputi beberapa negara: Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Iraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Palestina, Israel, Cyprus, Turki, Afghanistan, dan Iran. Dilakukan sejak tahun 622 Masehi. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.9; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)

2. Abu Bakar Ash-Shiddiq, berdakwah ke Damaskus, Syiria (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929,h.10; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
Umar bin Khattab, berdakwah juga di kawasan Palestina, Syiria, Turki dan kawasan Mesopotamia (Iraq). (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.11, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

3. Mu’adz bin Jabal, berdakwah ke Yaman (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.12).

4. Amr bin ‘Ash, berdakwah ke Yerussalem, Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.13; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

5. Surahbil, berdakwah ke Yerussalem, Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.13; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

6. Abdullah bin Hudhafah as-Sahmi, berdakwah di Persia, diutus kepada Kisra Persia. Sekarang negara Iran. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.14).

7. Shuja’ bin Wahab al-Asadi, berdakwah kepada Pangeran Ghassan. Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.15)


8. Hauzah bin ‘Ali Hanafi, berdakwah dan diutus kepada penguasa Yamamah. Yamamah terletak di Negara Saudi Arabia. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, 15).

C. ASIA SELATAN

1. Ali bin Abi Thalib, Pernah datang dan dakwah di kawasan Shind (Hind), yang meliputi kawasan: Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, Sri Lanka. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.20)
Zaid bin Tsabit, , pernah datang dan berdakwah di Armenia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.20).

2. Abdullah ibn Zubair, pernah datang dan berdakwah di Kazakstan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.32).

3. Sa’id ibn Ash, pernah datang dan berdakwah di Kirgystan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.41).

4. Abdurahman ibn Harits ibn Hisyam, pernah datang dan berdakwah di Tajikistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.54)
Malik Ibn Abi ‘Amir, pernah datang dan berdakwah di Uzbekistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.88).

5. Katsir Ibn Aflah, pernah datang dan berdakwah di Uzbekistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.99).

6. Hudzaifan bin Yaman, pernah datang dan berdakwah di Armenia dan Azerbaijan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h,114)

D. ASIA TIMUR

1. Anas ibn Malik, berdakwah ke China/Tiongkok melalui Nusantara, kawasan yang disinggahi yaitu: Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, RRC, dan Taiwan. (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.61).

2. Abdul Wahab Abi Kasbah, berdakwah ke China/Tiongkok melalui Nusantara dan Wafat dimakamkan di China. Kawasan yang disinggahi adalah: Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, RRC, dan Taiwan. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.41;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968 ; F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua,His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.)

 E. AMERIKA UTARA

Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah), pernah datang dan berdakwah di wilayah Amerika Utara (Bani Qanturah) pada tahun 622-637 M, melalui jalur: Amerika Serikat dan Kanada. 

Bukti ini dapat dilihat dalam sebuah hadits: Dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah telah bersabda: “Akan ada segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah (Dajlah), dan di atas sungai itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah. [Perawi Muhammad ibnu Yahya berkata: Abu Ma’mar meriwayatkan dengan mengatakan: negeri-negeri kaum muslimin]. 

Kelak di akhir zaman Bani Qanthura’ yang berwajah lebar dan bermata sipit akan datang menyerbu, sehingga mereka mencapai tepian sungai Dajlah. Pada saat itulah penduduk daerah itu akan terpecah menjadi tiga kelompok. Satu kelompok mengikuti ekor sapi (menuntun binatang mereka) dan menyelamatkan diri ke pedalaman, Mereka akan binasa. Satu kelompok lainnya memilih menyelamatkan dirinya dengan jalan memilih kekafiran. Adapun kelompok terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan bertempur melawan musuh. Mereka itulah orang-orang yang akan mati syahid.” HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani. (Menurut Imam  Syamsul Haq ‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, dijelaskan bahwa Bani Qanthurah adalah Amerika).

F. AMERIKA TENGAH

Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah), pada tahun 638-653 M, meluaskan dakwahnya di wilayah Amerika Tengah melalui jalur: Belize, Dominika, El Savador, Grenada, Guetamala, Haiti, Honduras, Kep.Bahama, Kostarika, Kuba, Meksiko, Nikaragua, Panama, Puerto Rico, Rep.Saint Lucia, St. Vincent & Grenadines, Trinidad and Tobago dan Kepulauan Karibia.

G. AMERIKA SELATAN

Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah), pada tahun 654-670 M pernah datang dan berdakwah di wilayah Amerika Selatan, yaitu meliputi: Argentina, Bolivia, Brazil, Cile, Ekuador, Guyana, Guyana Perancis, Paraguay, Peru, Suriname, Uruguay dan Venezuela . Kemudian pada tahun 671 Abu Bakrah pindah ke Bashrah (Iraq), dan  menurut Ibnu Khayyat dalam kitab al-Tabaqat berpendapat Abu Bakrah wafat pada tahun 52H atau 674 Masehi.

H. AFRIKA BARAT

Uqbah Bin Nafi, adalah komandan pasukan Islam yang membebaskan seluruh wilayah gurun besar Afrika. Wilayah yang dilalui adalah: Benin, Burkina Faso, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Mauritania Nigeria, Pantai Gading, Senegal, Sierra Leone, Tanjung Verde, dan Togo (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, volume 4-5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1999)

I. AFRIKA SELATAN

Abdullah Ibn Abbas, pernah datang dan berdakwah di Afrika Selatan, Bostwana, Lesotho, Namibia, Swaziland, dan Zimbabwe. Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.77)
J. AFRIKA TIMUR

‘Amar bin Umayyah, berdakwah ke Ethiopia diutus kepada Raja Etiopia. Negara Ethiopia ada di Afrika Timur.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.52)

K. AFRIKA TENGAH

Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, berdakwah di wilayah Angola, Gabon, Kamerun, Kongo, Afrika Tengah, Saotome & Principe, Zaire dan Zambia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, 1351)

L. AFRIKA UTARA

Ali bin Abi Thalib, berdakwah ke Afrika Utara, Kawasan yang dilalui meliputi: Aljazair, Chad, Libya, Maroko, Mesir, Nigeria, Sahara Barat, Tunisia. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.60; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
Hatib bin Abi Balta’ah, berdakwah ke Mesir dan diutus kepada Gubernur Mesir, (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.62)
M. EROPA BARAT

Utsman bin Affan, pernah melakukan safar dakwah (ekspedisi dakwah) ke wilayah Eropa Barat, melalui Jalur: Jerman, Luxemburg, Perancis, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, (Sumber: Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

N. EROPA TENGAH

Abdurrahman bin Auf, pernah melakukan ekspansi Islam ke Austria, Cekoslovakia, Hungaria, Polandia, Slovakia, dan Swiss. Kebanyakan keturunan Abdurrahman bin Auf banyak di Swiss  (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 1-2, Penerbit MADAWIS, 2005, h. 70).

O. EROPA SELATAN

1. Umar bin Khattab, berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.70; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

2. Abu Ubaidah bin Jarrah, berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.71; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)

3. Khalid bin Walid, berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.72; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah).

4. Dihyah bin Kalbi, berdakwah ke Romawi dan diutus membawa surat kepada Kaisar Romawi. Kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.72).

P. EROPA TIMUR

Thalhah bin Ubaidillah, pernah melakukan perdagangan dan dakwah di wilayah yang sekarang di sebut Eropa Timur, meliputi Belarusia, Bulgaria, Estonia, Georgia, Latvia, Lithuania, Moldova, Rumania, Rusia dan Ukraini. Sehingga di wikayah Eropa Timur ini banyak ditemukan beberapa keturunan dari Thalhah bin Ubaidillah. (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1888).

Q. EROPA UTARA

Zubair bin Awwam, pernah ditugaskan oleh Rasulullah mendakwahkan Islam di wilayah Eropa bagian Utara, melintasi Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.2340)

 R. AUSTRALIA

Saad bin Abi Waqqas, pernah ditugaskan oleh Rasulullah mendakwahkan Islam di wilayah Australia atau Osenia, yang melintasi beberapa negara seperti New South Wales, Victoria, Queensland, Australia Barat, Australia Selatan,    Tasmania, Australia Utara dan Selandia Baru (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1541)
Penulis: Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh (Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam).



Kamis, 30 Maret 2023

Apakah Seri Batak Raja di Hindia yang Disebut Sebagai Sahabat Nabi Muhammad SAW itu Orang Batak?

Belakangan banyak yang bertanya apakah salah satu sahabat Nabi SAW yang diduga dari nusantara bernama Seri Bataka Raja di Hindia adalah orang Batak atau bukan?



Hal itu karena hipotesa nama tersebut dari India (Kerala) dan Sriwijaya terbantahkan.

Raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya memang pernah mengirim surat ke Khalifah Umar bin Abdul Azizi dari Dinasti Bani Umayyah di abad ke-8, dan eranya jauh setelah Rasulullah masih hidup pada awal abad ke-7.

Sebagaimana diketahui salah satu nama sahabat disebut bernama Sri Baduga Malik al-Hind atau bisa juga dibaca Seri Batak Raja dari Hindia (سرباتك مالك الهند). Termuat dalam kitab Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah karya Ibn al-Atsir, biografi no. 1958, kitab Lisan al-Mizan karya karya Ibnu Hajar al-'Asqalani, jilid  4, hal. 19, biografi no. 3359 dan kitab Bihar al-Anwar al-Jamiah li Durari Akhbar al-Aimmah al-Athhar karya Muhammad Baqir al-Majlisi, jilid 14, hal. 520, bab "Ahwal Muluk al-Ardh" (berita para raja di dunia).

Terkait hal itu perlu dicermati:

1. Bahwa daerah Batak atau Tanah Batak yang dikenal sekarang sejak era Belanda  adalah beberapa kabupaten eks pemekaran Tapanuli Utara khususnya Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba dan Kabupaten Samosir.

Jika merujuk pada buku J.C.J. Kempees, De tocht van Overste van Daalen door de Gajo,. Alas en Bataklanden, maka Bataklanden yang dimaksud adalah empat kabupaten di atas ditambah Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat.

2. Bahwa menurut warga di beberapa kabupaten di atas, asal usul mereka sebagai orang Batak adalah dari wilayah sekitar Danau Toba. Sehingga tidak sama dengan Batak di Filipina atau daerah lain yang bukan berasal dari Danau Toba walau tetap disebut sebagai orang Batak.

Begitu juga dengan orang Gayo yang leluhurnya kemungkinan besar dari peradaban Loyang Mendale berusia 5.000 tahun.

3. Bahwa menurut Seminar Internasional tahun 2015 di Unimed bertajuk "Telaah Mitos dan Sejarah dalam Asal-usul Orang Batak (Harian Analisa), Pusuk Buhit yang diyakini sebagai tempat pertama yang dihuni kelompok masyarakat yang diyakini sebagai leluhur Batak itu baru dihuni sekitar 600-1000 tahun lalu sesuai dengan bukti arkeologis dan kajian bahasa.

Dengan begitu, sangat tidak mungkin orang yang dikenal sebagai orang Batak di sekitar Danau Toba sekarang menjadi sahabat Nabi SAW walau menurut Pustaka Alim Kembaren, berbahasa Karo, komunitas yang menetap di sebagian pinggir Danau Toba yang migrasi dari Jambi dan Sumatera Barat telah berinteraksi dengan Mekkah tanpa diketahui angka tahunnya. (Lihat di sini soal Pustaka Alim Kembaren). 


Dan menurut Sejarah Islam di Tanah Batak oleh KH Jailani Sitohang terbuka kemungkinan orang Arab (Halak Arab=Harahap) telah lama bermukim di sekitar Danau Toba.

4. Jika bacaan nama sahabat di atas adalah Seri Batak Raja di Hindia maka kemungkinan pertama adalah merujuk pada warga atau orang yang tinggal di Barus yang sekarang ditetapkan sebagai Titik Nol Islam di Nusantara. Namun penduduk saat itu adalah orang Melayu. Dan tidak ada bukti kuat adanya sebuah Kerajaan Batak di Barus era hidupnya Nabi SAW.

Buku Sejarah Raja-raja Barus baik Hulu dan Hilir sangat bercorak melayu. Dan Raja Barus Hulu disebut berasal dari daerah sekitar Danau Toba, sehingga jika merujuk pada fakta nomor 3 di atas masih relatif sebuah suku baru. Apalagi Raja di Hilir (Tuan Ibrahimsyah) baru datang di sekitar abad ke-16.

5. Kemungkinan kedua berhubungan dengan poin keempat adalah salah satu raja di Kerajaan Pannai atau Pane yang terletak di Padang Lawas (Tabagsel) dan Labuhan Batu. Dan ini tidak di pinggir Danau Toba.

Kerajaan Pane disebut dihancurkan oleh invasi Kerajaan Chola dari India sesuai dengan inskripsi Thanjavur abad ke-11. Ini berarti kerajaan ini telah eksis sebelum abad tersebut.

Namun nama para raja di Kerajaan Pannai tidak diketahui. Akan tetapi sosok Pane Nabolon memang dihormati dan masuk dalam legenda di Sumatera Utara yang kemungkinan adalah nama raja di Pannai.

Sebagaimana nama Dapunta Hyang dari Sriwijaya juga menjadi legenda wilayah yang sekarang benama Pakpak Bharat.

6. Peran untuk memecahkan teka-teki apakah Sri Paduka Raja India atau Sri Batak Raja di Hindia berada di pundak para akademisi di beberapa universitas di Sumatera Utara dengan menggunakan metodologi yang presisi dan lebih berkompeten.

7. Bahwa jika ternyata nama sahabat Nabi Muhammad SAW itu adalah orang Batak dari Kerajaan Pane maka yang layak mengambil kredit adalah orang Batak Angkola bukan Batak yang di Danau Toba. Angkola adalah nama orang yang mendiami sekitar Padang Lawas, Sumatera Utara. Dan tidak semua orang Angkola setuju leluhur mereka berasal dari Pusuk Buhit sebagaimana disebut dalam poin nomor tiga di atas.

8. Jika benar ada sahabat Nabi SAW dari nusantara baik itu nantinya jika terbukti sebagai orang Melayu, Jawa atau Batak Angkola, maka itu adalah kebanggaan bersama sebagai orang nusantara yang kini menjadi orang Indonesia 

@batakmuslim2023

Rabu, 08 Maret 2023

Sejarah Batak Melalui Pustaka Alim Kembaren dan Hipotesa Uli Kozok

Uli Kozok di bincang Lae Kirman itu (lihat videonya di bawah) memperkuat legenda bahwa di Tobalah (Pusuk Buhit/Samosir) pemukiman pertama orang Batak berdasarkan hipotesanya dari segi umur bahasa sekitar abad ke-10.

Dan manuskrip Laklak yang paling dekat dengan teori itu adalah Pustaka Alim Kembaren (berbahasa Karo) kisah orang Pagaruyung datang ke sekitar Danau Toba melalui Jambi sekarang. Di situ juga ada perjalanan ke Mekkah. Pustaka itu sudah ada di internet. Jika pustaka ini mengandung keakuratan berarti mereka pemukim pertama yang dijuluki dengan Raja Jolma atau Rajai Jolma itu sudah berinteraksi ke Mekkah.


Di Tanah Karo (Haru) mungkin sudah ada manusia seperti warga Ginting dll.

Karena ada kisah Mekkah itu, masuk akal jika sebagian marga Harahap mempunyai turiturian bahwa leluhur mereka dari Arab Hadramaut, dengan dugaan Harahap berasal dari kata Halak Arab (Orang Arab) meski mereka masuk dari pantai Mandailing Natal yang dulu juga bagian dari Sriwijaya. Dan bisa saja nasab atau silsilah ke Arabnya sudah terputus.



Sebelumnya, KH Jailani Sitohang mantan Ketua Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) juga sudah menerbitkan buku teori orang Arab yang mungkin sudah Islam mengetahui dan bisa saja bermukim di sekitar Danau Toba dari Barus karena nama-namanya diperkirakan berasal atau terinspirasi dari Alquran seperti Kapur Barus, Toba dll. 


Pendapat ini tidak pernah didalami hingga kini dan menjadi menarik untuk didalami berdasarkan teori Uli Kozok dan laklak Pustaka Alim Kembaren itu.

Inskripsi tertua mengenai bahasa Batak Tua adalah situs Sitopayan di Tapanuli Bagian Selatan, sekarang di Kabupaten Padang Lawa yang menggunakan bahasa Batak Tua (lihat di sini), Melayu Tua dan Jawa.


Sitopayan II di Padang Lawas Utara menggunakan aksara Batak yang saat itu digunakan pada tulak-tulak Mandailing dan belakangan pada abad ke-18 digunakan luas di Toba.



Rabu, 23 November 2022

Pilihan Parpol tak Lolos Pemilu, Fusi ke Partai Lain atau Masuk Timses Pilpres dan Pilkada

Sekitar sembilan parpol dinyatakan belum memenuhi syarat dalam verifikasi faktual oleh KPU dan dimint untuk memperbaiki. 

Pengumuman soal akan ikut atau tidak pemilu akan diputuskan pada 14 Desember 2022 mendatang.

Berikut sembilan parpol yang disebut:

1. Partai Gelora Indonesia
2. Perindo
3. Partai Hanura
4. Partai Garuda
5. PKN
6. PBB
7. Partai Ummat
8. PSI
9. Partai Buruh

Apakah jika mereka gagal ikut Pemilu 2024 apakah kiamat akan datang?

Sebenarnya walau tidak menjadi headline media, banyak parpol yang tidak memenuhi syarat pada tahap sebelumnya telah melakukan manuver politik.

Partai Idaman yang dipimpin oleh Rhoma Irama telah melakukan fusi ke Golkar setelah sebelumnya nebeng dengan Partai PAN di Pemilu 2019 untuk memasukkan para caleg mereka. 

Tidak diketahui berapa persen porsi caleg yang akan dialokasikan Golkar kepada Partai Idaman. Namun bisa diperkirakan lebih menarik dibandingkan tawaran PAN sehingga Rhoma Irama memutuskan bergabung dengan Golkar.

Meski tak tertulis, Partai Idaman sebenarnya telah secara de facto bergabung dengan KIB bersama Golkar, PAN dan PPP.


Begitu juga Partai Masyumi (2020) dan Partai Pelita.

Sebelumnya Din Syamsuddin pendiri Partai Pelita menyebut akan memilih koalisi jika partainya kesulitan masuk pemilu 2024.

Jika dilihat dari fatsun politiknya, Partai Masyumi dan Partai Pelita akan gabung dengan Koalisi Pro Anies baik masuk ke jajaran timses Anies Baswedan maupun nego politik dengan PKS, Nasem atau Demokrat untuk menitipkan caleg mereka.

Masuknya parpol yang tak lolos pemilu itu ke koalisi tidak saja untuk pemenangan pilpres tapi juga pileg dan berikutnya pilkada.

Untuk itu, kepengurusan DPP parpol yang tidak masuk pemilu itu seharusnya tidak membubarkan diri tapi terus berbicara atas nama partainya saat mengusung capres di timses dan mempromosikan calegnya yang gabung dengan parpol lainnya.

Masuknya caleg Partai Idaman ke PAN tahun 2019 diblowup sebagai pendidikan publik. Logo keduanya juga dipakai dalam alat kampanye caleg di berbagai daerah.

Jumat, 18 November 2022

Media Yaman Heboh Undangan Saudi untuk Pemimpin Houthi

Media Yaman saat ini lagi heboh atas isu yang beredar bahwa Arab Saudi saat ini telah memberikan undangan kepada Presiden Mahdi Al Mashat di pemerintahan Houthi untuk berkunjung ke Riyadh.

Bahkan para aktivis media sosial menyebarkan foto hoaks pertemuan PM Saudi Muhammad bin Salman (MBS) dengan Al Mashat.


Padahal sebenarnya antara kelompok Houthi dan Saudi sudah lama menjalin komunikasi baik secara langsung maupun melalui pemerintahan Yaman yang sah.

Salah satu contohnya adalah perjanjian Stockholm yang menghasilnya mundurkan pasukan pemerintah dari Al Hodeidah dan memberikan Houthi akses ke laut.

Selain itu terdapat juga berbagai pertemuan yang ditengahi oleh palang merah internasional soal tukar menukar tahanan.